Bagian Lima (2)

1.5K 180 18
                                    

Bagian Lima 

Kenapa Kau Harus Menolongku Ketika Aku Begitu Membencimu? (2)


Meski mereka pulang lebih awal hari itu, Aya berencana jalan-jalan ke mall sebelum pulang ke rumah. Membayangkan dia bisa pergi ke toko buku, sudah cukup membuat suasana hatinya membaik. Dia bahkan tidak mengomel sekali pun meski harus menemani Isha piket harian.

Tapi ternyata, begitu Isha selesai piket, dia masih harus kumpul dengan anak-anak cheerleader lainnya. Sepertinya mereka akan berlatih untuk kompetisi minggu depan. Akhirnya Aya pun memutuskan untuk pergi lebih dulu. Bahkan meskipun pulang lebih awal, tapi dia sudah berkata pada tantenya bahwa dia tidak akan pulang terlalu siang.

Sekolahan sudah sepi saat Aya berjalan melewati halaman menuju gerbang depan. Di gerbang depan, rombongan pengikut Rico membuat Aya mengerang dalam hati. Mereka saling melempar canda dengan ribut di gerbang, yang langsung terhenti saat Aya lewat. Aya bisa merasakan tatapan mereka tertuju padanya, dan seperti biasa, dia mengabaikannya.

Diam-diam Aya mendesah lega begitu melewati gerbang. Tapi, jalan dari sekolahnya ke jalan besar ada sekitar tiga ratus meter. Biasanya, Aya tidak akan mengeluh. Masalahnya, seratus meter di depannya, dia melihat beberapa pria yang sepertinya beberapa tahun lebih tua darinya, memarkirkan motor di pinggir jalan dan tertawa keras.

Aya bisa saja menghindari jalan itu dan memutar lewat jalan kampung, tapi dia malas. Terlalu jauh. Lagipula, meski di antara jalan dari sekolahnya menuju jalan besar ada kebun di kanan-kirinya, tapi jalannya lebih dekat. Lagipula, kenapa Aya harus mengkhawatirkan orang-orang itu?

Pikiran Aya termentahkan saat dia melewati rombongan itu. Salah seorang dari mereka tiba-tiba menghadang jalannya.

"Eh, si Eneng. Kok pulang sendiri? Nggak bareng sama temen-temennya tadi?" ujar pria yang menghadang jalannya.

Aya melemparkan tatapan sinis pada pria itu sembari bergeser, tapi kini seorang lagi menghalangi jalannya.

"Kalo nggak ada temennya, mending di sini aja, Neng. Aa' temenin deh," pria kedua berkata.

Aya mendengus kasar. "Kalian kalo nggak ada kerjaan mending pulang aja, deh. Tidur di rumah, daripada menuh-menuhin jalan," sengitnya.

Aya tersentak ketika pria pertama mencengkeram pergelangan tangannya.

"Cantik-cantik mulutnya pedes, nih. Enaknya diapain, ya?" ucap si pria pertama.

Aya berusaha menarik tangannya dari pegangan pria itu. Dia bahkan sudah bersiap untuk berteriak jika usahanya gagal, ketika didengarnya suara siulan keras dari belakang.

Aya menoleh dan dilihatnya Rico berjalan ke arahnya.

"Itu tangan lo, jauhin dari cewek gue deh, sebelum gue patahin," Rico berkata santai. Kedua tangan cowok itu diselipkan di saku celana seragamnya.

"Ini siapa lagi, anak kecil sok jagoan di sini?" geram si pria pertama yang malah menarik Aya ke arahnya.

Aya berusaha memberontak ketika pria itu merangkul bahunya, tapi lagi-lagi usahanya sia-sia.

"Wah, gue saranin lo buat pesen kamar di rumah sakit, deh. Itu tangan lo nggak asyik banget diliatnya," Rico berkata begitu dia hanya berada beberapa meter di depan Aya.

"Sok banget siah (kamu)! Sini, maju!" tantang pria yang memegangi Aya tadi seraya melepaskan Aya.

Rico tersenyum miring, lalu menatap Aya. "Lo mau di situ aja, atau ikut gue?"

Aya seketika tersadar dan bergegas menghampiri Rico. Ia tersentak kecil ketika Rico menyentuh wajahnya.

"Lo nggak pa-pa?" cowok itu bertanya.

Aya mengangguk. Rico lalu menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya ke belakang cowok itu.

"Lo di sini aja, jangan ke mana-mana," Rico berpesan. "Sebentar gue nggak liat elo, lo udah mau diculik preman kampung."

Geraman marah dari orang-orang di depan Rico membuat Aya mundur. Tapi sebaliknya, Rico malah mendekat pada orang-orang itu.

Aya membeku di tempatnya demi melihat Rico beradu tinju dengan orang-orang itu. Cowok itu melawan setidaknya sepuluh orang. Sendirian. Omong-omong, di mana teman-teman Rico? Kenapa mereka tidak membantu Rico?

Pertanyaan Aya terjawab ketika serombongan orang mengenakan seragam yang sama dengan Rico, berjalan dari belakang preman-preman kampung itu.

"Wah, si Bos mah sukanya main curang. Pengen keliatan keren sendiri di depan Neng Aya." Benny masih sempat bercanda.

Di depannya, Aya melihat bagaimana kedua kubu saling menyerang, menghajar. Hingga akhirnya, hanya Rico dan teman-temannya yang masih berdiri, meski seragam mereka kini kotor, beberapa bahkan robek.

Para preman kampung tadi menatap Rico geram, tapi kemudian mereka berlari ke arah motor mereka dan kabur tanpa menoleh ke belakang lagi.

"Nggak perlu dikejar, Bos?" tanya Benny.

"Nggak usah. Besok aja kalo balik lagi kita habisin sekalian," Rico menjawab, membuat Aya melotot ke arahnya.

Rico yang menoleh dan melihat ekspresinya malah tersenyum.    

***

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang