Bagian Sembilan (2)

1.3K 183 21
                                    

Bagian Sembilan 

Yang Tampak Baik Tak Selalu Baik, Pun Yang Tampak Buruk Tak Selalu Buruk (2)

Saat Aya meninggalkan teras belakang untuk membantu tantenya menyajikan makanan dan minuman untuk teman-temannya, Rico entah dari mana, sudah muncul di sebelahnya. Aya menghentikan langkahnya di samping dapur dan menatap Rico tajam.

"Lo ngapain bawa mereka ke sini?" sengitnya. Seperti biasa.

Rico tersenyum. "Biar gue bisa liat lo senyum."

Aya mengerutkan kening bingung. "Lo ..."

"Jangan berusaha kabur dari orang-orang yang sayang dan peduli sama elo, Kay," sela Rico. Cowok itu menatapnya lekat. "Punya orang-orang yang bisa bikin lo senyum dan ketawa di samping lo, nggak seburuk itu, kan? Jadi, jangan ngedorong orang-orang ngejauh dari lo. Nggak semua orang deketin lo cuma buat manfaatin lo, kayak si cewek topeng monyet itu. Nggak adil kalo lo ngehakimin orang lain cuma karena satu orang yang ngecewain elo. Iya, kan?"

Aya sampai tak punya kata-kata balasan untuk kalimat panjang Rico itu. Dan di tengah keterpakuannya, terdengar suara ribut dari dapur.

"Sini Tante, biar saya yang bantuin," Benny berbicara.

Aya hendak melongok ke dapur, tapi Rico menariknya mundur tepat ketika Benny keluar dengan membawa nampan penuh berisi gelas minuman. Menyusul Benny, teman-teman Rico lainnya juga membawa nampan-nampan lain berisi makanan juga.

Terakhir, tantenya keluar dari dapur dan tersenyum ketika melihat Aya di sana.

"Temen-temenmu itu sopan banget, ya? Sering-sering aja mereka main ke sini biar rame. Kamu juga kan, jadi banyak temennya," ucap tantenya gembira.

Aya tersenyum tipis. Gengnya Rico itu ... sopan?

Tapi, saat Aya berbalik dan melihat Benny dan teman-teman Rico mengangsurkan minuman pada Erja dan yang lain, yang juga membuat mereka keheranan, Aya tersenyum juga. Benny bahkan tidak mendebat atau mengelak ketika Erja menuduhnya yang aneh-aneh.

"Dan ada gue di sini juga nggak seburuk itu, kan?" Suara Rico membuat Aya menoleh cepat, mendapati cowok itu juga menatapnya, tersenyum.

"Tante malah makasih banget ada Rico di sini," Tante Yani menjawab, membuat wajah Aya mendadak terasa panas.

"Tante, nih," desis Aya.

Tapi, tantenya itu malah tersenyum, mengusap lembut kepala Aya. "Udah sana, kamu sama temen-temenmu. Tante keluar sebentar, ya? Mau beli makan siang buat temen-temenmu. Tante nggak masak banyak tadi. Om juga lagi jemput Alvie sama Vila. Ntar kalo temenmu udah laper, disuruh makan camilan itu dulu, ya?"

Aya hanya menjawab dengan anggukan, sementara di sebelahnya, Rico langsung menawari diri untuk membeli makan siangnya, tapi tantenya menolak.

"Kamu di sini aja. Nemenin Aya. Kalo bukan karena kamu, nggak mungkin dia mau keluar kamar tadi," kata tantenya, lagi-lagi membuat wajah Aya memanas.

Begitu tantenya pergi, Rico tak menyiakan kesempatan itu untuk menggoda Aya,

"Wah, Kay, lo kalo kangen sama gue bilang aja, sih. Gue juga kangen elo kok, kalo jauh dari elo."

Aya mendesis kesal seraya meninggalkan cowok itu dan bergabung dengan teman-temannya di teras belakang.

***

"Kak Aya mau jalan-jalan nggak hari ini?" tanya omnya saat mereka sarapan Minggu pagi itu.

Aya menggeleng. "Aya pengen di rumah aja, Om. Om kalo mau jalan-jalan sama Amel, Alvie sama Vila juga nggak pa-pa. Aya di rumah aja."

"Nggak. Om juga nggak pengen ke mana-mana, kok," ucap omnya. "Tapi kalo kamu bosen. Kan, dua hari kemaren kamu di rumah sakit aja."

Aya tersenyum. "Aya mau baca novel aja di rumah. Lagian, besok juga sekolah. Ntar kecapekan kalo dipake jalan-jalan."

Omnya mengangguk. "Tapi, kalo kamu masih nggak enak badan, besok kamu nggak perlu masuk dulu, Kak."

"Aya udah nggak pa-pa kok, Om." Aya menenangkan omnya.

Aya lalu melirik jam dinding, mendadak teringat minggu lalu ketika Rico mampir ke rumah ini. Bahkan seusai sarapan, Aya berbaring malas di ruang tengah sembari membaca novel, dengan sesekali melirik jam.

"Ngeliatin jam mulu, nunggu apaan, sih?" celetuk Amel yang sudah ikut berbaring di sebelahnya.

"Ya liat jam, lah. Berasa lambat aja waktunya," jawab Aya berdusta.

"Iya, ya? Kalo pas nggak ada kegiatan gini, jamnya berasa lama," keluh Amel. "Tapi, ntar Rico ke sini nggak, sih? Keseringan liat dia nih, kayaknya. Jadi aneh kalo nggak ngeliat dia nongol di rumah." Amel nyengir.

Aya menutup pandangannya dengan novel. "Mana gue tau," cueknya.

"Rico katanya ada acara sama temen-temannya hari ini, jadi dia nggak bisa main ke sini." Aya mendengar suara tantenya yang membuatnya mendongak. Dilihatnya tantenya sedang membereskan meja makan.

"Rico ngomong gitu ke Tante?" Aya tak dapat menahan rasa penasarannya.

Tantenya mengangguk. "Tadi pagi-pagi banget dia mampir, sambil jogging gitu. Kamu masih tidur tadi. Dia cuma pesen, buat ngajakin kamu jalan-jalan. Siapa tau kamu bosen."

Aya mengernyit, tapi dia tak mengatakan apa pun.

"Tapi, besok katanya dia yang mau jemput kamu ke sekolah, jadi Tante nggak perlu nganterin," lanjut tantenya.

Aya berusaha untuk cuek menanggapi itu, tapi dia tak bisa mencegah suara hatinya yang terus berbisik, berharap, semoga waktu berjalan lebih cepat hari ini. Dengan bodohnya.

"Huah ... ini jam kelambatan kali, ya? Dari tadi jam segini mulu. Mana kita nggak ngapa-ngapain lagi. Ma, ada es krim, nggak?" cerocos Amel yang sudah bosan.

Aya berdehem. "Iya, nih. Lambat banget," Aya menimpali dalam gumaman.

***    

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang