Bagian Satu - Semua Juga Tahu, Dia Selalu Membuat Masalah (3)

2.6K 224 32
                                    

Begitu mereka melahap habis bakso dan es kelapa mereka, Isha tiba-tiba meminta Aya kembali ke kelas lebih dulu karena dia ingin membeli pisang molen. Untuk camilan, katanya.

"Kamu tuh, badan kecil tapi makannya rakus amat," Aya berkata sebelum meninggalkan Isha yang bahkan tak merasa terganggu dengan kata-katanya barusan. Bahkan bisa dibilang, Isha bangga dengan itu.

Isha, tak peduli sebanyak apa pun dia makan, tidak merubah tubuhnya yang kecil. Mengingat banyaknya anak-anak lain yang bahkan sampai diet menyiksa selama berbulan-bulan demi menurunkan berat badan.

Aya meninggalkan kantin lewat taman sekolah, malas berdesakan di koridor dengan murid-murid lainnya. Tapi, di tengah perjalanan, dia mendengar seseorang yang memanggilnya dengan sebutan yang hanya satu orang yang melakukannya,

"Kay!"

Aya ingin mengabaikannya, sungguh, tapi jika dia menghindari cowok itu, dia akan semakin membuat masalah dengan Aya. Dia sudah hafal dengan itu. Cara terbaik untuk menghindari masalah dengan cowok itu, adalah menghadapinya. Setidaknya, masalah itu akan langsung selesai.

"Apa?" Aya menatap sengit ke arah Rico yang sudah berjalan di belakangnya.

"Sini, sini!" Cowok itu mengangkat tangan, memberi isyarat agar Aya mendekat. "Bantuin gue lagi, dong."

Aya mendesah berat. Hanya sekali. Tidak apa-apa. Daripada pulang sekolah nanti dia dicegat di jalan dan diganggu para pengikutnya yang urakan.

"Apa lagi, sih?" Aya menatap Rico kesal.

Cowok itu berjalan ke pinggir taman, ke arah kran air di dekat air terjun buatan kecil di sana. Setelah menyambung selang biru di sana dengan mulut kran, dia menyodorkan ujung lain selangnya pada Aya.

Aya mengangkat alis, tapi menerima selang itu. "Ini lo mau minta diiket atau digampar make ini?"

Rico tergelak. Lalu, dengan tiba-tiba, dengan santainya, cowok itu melepas kaos olahraganya, membuat Aya kontan terbelalak dan menatap ke arah lain.

"Siramin airnya ke punggung gue, dong. Panas banget, nih," Rico berkata seraya melempar kaosnya menjauh.

Aya melirik cowok itu dan mendapati Rico bergerak turun dalam posisi push up, tapi pinggangnya terangkat lebih tinggi.

"Punggung gue aja. Jangan sampe basah ya, celananya. Ntar lo yang harus tanggung jawab kalo celana gue basah," ancam cowok itu.

Aya mendengus. "Nggak pa-pa. Ntar gue pinjemin rok gue kalo celana lo basah," katanya cuek.

Rico tertawa pelan, lalu dengan satu tangan dia menunjuk ke arah kran, tanpa kata memberi perintah untuk menyalakan krannya.

Aya memutar mata, tapi dia berjalan ke arah kran, memutarnya, dan setelah air mengucur dari selang, diarahkannya selang itu ke punggung Rico.

"Lo tadi liat Benny, nggak?" tanya Rico tiba-tiba. "Tadinya gue mau nyuruh tuh anak, tapi dia nggak balik-balik dari kelas."

"Di kelas tadi. Lagi berantem ama Fina, tuh. Nggak jelas masalahnya apa," jawab Aya.

"Ck, tuh anak dibilangin nggak usah ngeladenin topeng monyet satu itu, masih aja nekat," gerutu Rico.

Mendengar cara Rico menyebut Fina, Aya tak dapat menahan senyum gelinya. Topeng monyet? Mungkin karena dandanan Fina yang berlebihan, termasuk bedak setebal lima senti dan blush on yang membuatnya tampak seperti kena penyakit kulit.

"Tapi, lo dulu kok bisa deket ama dia, sih? Mau aja gabung ama geng topeng monyet begitu," cibir Rico.

Mendengar itu, mata Aya menyipit. Memang, saat masih murid baru di sekolah ini enam bulan lalu, dia cukup dekat dengan Fina dan geng populernya. Sejak awal dia sadar, anak-anak itu hanya memanfaatkan kepintarannya dan selalu iri padanya. Maka, tepat saat pergantian semester, Aya memutuskan bahwa dia sudah tidak membutuhkan teman seperti Fina lagi. Aya sudah menemukan teman lain yang juga cukup populer, tapi tidak sok seperti Fina. Yang jelas, jauh lebih baik daripada Fina.

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang