Bagian Empat (5)

1.5K 189 29
                                    

Bagian Empat  

Ke Mana Kau akan Lari Ketika Takdir Selalu Membawamu Kepadaku, Lagi? (5)


"Ayah kan baru balik, nggak usah nganter ke sekolah juga nggak pa-pa, kok," Rico berkata pada ayahnya yang berkeras mengantarkan dia dan Aya ke sekolah pagi itu. Dan untuk pertama kalinya, mengantarkannya ke sekolah.

"Bukan buat kamu, tapi buat Aya. Anak cewek kan beda sama anak cowok. Kalo Ayah punya anak cewek, pastinya tiap hari Ayah anterin ke sekolah," ayahnya menjawab. "Nah kalo anak Ayah cowok, yang sekuat kamu, ngapain Ayah khawatir?"

Rico tersenyum mendengar kebanggan dalam suara ayahnya.

"Tangan sama kepalamu nggak pa-pa?" tanya ayahnya.

"Nggak pa-pa, Yah. Kegores dikit," balas Rico enteng. "Lagian ..."

"Om." Panggilan pelan Aya dari kursi belakang itu membuat Rico menoleh. "Itu ... maaf ya, Rico sampe luka-luka gitu gara-gara nolongin Aya." Cewek itu terdengar menyesal.

Rico tanpa sadar tersenyum mendengarnya.

"Kenapa minta maaf? Udah tugasnya Rico dong, ngelindungin ceweknya," ayahnya berkata, membuat Rico melotot panik, sementara Aya terlongo.

"Aya cuma temennya kok, Om," Aya masih sempat meralat.

"Ya, tapi kan kamu cewek. Wajar dong, kalo cowok ngelindungin cewek," balas ayah Rico. "Rico keren kan, bisa ngelindungin ceweknya?" tambahnya.

Rico menatap ayahnya kesal, sementara Aya meringis di belakang.

"Aya ... bukan ceweknya Rico, Om," cewek itu masih bisa protes.

Ayah Rico tertawa seraya menatap Rico. "Maksud Om, temen ceweknya."

"Yah, ntar turunin di lampu merah depan itu aja," Rico berkata, mencegah ayahnya mengatakan hal-hal yang lebih memalukan lagi. Setidaknya, dia tahu satu hal; ayahnya mengawasinya selama ini. Bahkan ketika dia berada di luar negeri.

"Kenapa? Takut temen-temenmu ngeliat kamu sama cewekmu?" ayahnya masih bisa membalas, bahkan mengerdip jail pada Rico.

"Temen cewek, Om," Aya meralat di belakang. Dan perlukah cewek itu menolak Rico terang-terangan seperti ini? Di depan ayahnya? Rico bahkan belum sempat ...

"Ntar kalo ada yang liat kita berangkat bareng, bakal disorakin soalnya, Om," Aya memberi alasan.

"Oh." Ayah Rico mengangguk-angguk. "Tapi kalo disorakinnya sama anak Om yang keren gini, masa Aya malu?"

Rico mengerang dalam hati. "Yah, please," dia memohon, dengan putus asa.

Ayahnya tergelak, sebelum menepikan mobil di lampu merah tak jauh dari sekolah mereka.

"Yakin mau turun di sini aja?" ayahnya masih sempat bertanya, ketika Aya dan Rico sudah memegang handle pintu, bersiap kabur secepat mungkin.

"Iya, Yah. Di sini aja. Ntar Rico pulang sendiri, nggak usah dijemput," Rico memperingatkan ayahnya.

"Makasih Om, udah dianter sampe sekolah," Aya berbicara di belakang.

"Ini belum sampe sekolah, lho!" seru ayah Rico. "Mau diterusin sampe sekolah sekalian?"

"Eh, nggak usah, Om. Di sini aja udah makasih banget. Udah deket banget ama sekolah. Tinggal lompat juga udah nyampe," Aya memberikan alasan mendesak.

Rico memutar mata, seraya melempar tatapan jengkel pada ayahnya sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil. Rico mendengus tak percaya saat ayahnya masih sempat melambai padanya.

Begitu mobil ayahnya melaju pergi, dia harus menahan erangan kesalnya saat Aya berkomentar,

"Gue baru tau, bokap lo tuh bisa cute banget ya, kalo ama lo? Anak Papi, ya?"

"Dan siapa yang semalem ngambek cuma gara-gara nggak boleh makan sambil baca buku?" balas Rico kesal.

"Itu komik, bukan buku," desis Aya. "Makanya belajar. Masa komik ama buku aja nggak bisa bedain."

"Elo sendiri, udah belajar, tapi masa waktu baca ama waktu makan nggak bisa bedain?" dengus Rico.

Ketika Aya meneriakkan namanya dengan kesal di belakang, Rico tak menghentikan langkah dan terus berjalan. Dia sudah cukup malu di depan cewek itu karena ayahnya tadi.

***    

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang