Bagian Delapan (4)

1.4K 192 21
                                    

Bagian Delapan 

Jangan Mendorongku Menjauh Ketika Kau Menggenggam Hatiku Begitu Erat (4)


Saat Aya membuka matanya sore itu, lagi-lagi Rico adalah orang pertama yang dilihatnya. Cowok itu berbaring di sofa, tampak membaca sesuatu. Tidak seperti dirinya biasanya.

"Lo udah bangun?" tanya cowok itu bahkan tanpa menoleh.

Aya tidak menjawab, membuat cowok itu menoleh padanya.

"Gue pinjem komik lo. Tadi dibawain Amel. Dia sempet ke sini ama tante lo. Tapi, mereka langsung balik sebelum lo bangun. Katanya, lo mungkin juga nggak pengen ketemu mereka. Nggak tau deh, maksudnya apa. Lo lagi berantem sama tante lo? Atau sama Amel? Hobi banget sih nyari musuh," cerocos cowok itu.

Aya mengernyit, tapi tak membalas satu pun kata-kata Rico.

"Lo tadi siang belum makan, ya? Tuh, makanannya masih utuh. Lo laper? Mau gue cariin makanan di kantin aja, nggak? Yang itu pasti udah nggak enak," ucap cowok itu seraya melompat bangun dari sofa.

Aya masih tak menjawab.

Rico menghampiri tempat tidurnya, lalu memindahkan komik Detective Conan di tangannya ke tangan Aya.

"Gue ke kantin bentar. Gue beliin makanan yang enak, deh. Lo juga udah bosen kan, makan makanan rumah sakit?" ucap cowok itu.

Tapi, saat Rico hendak pergi, Aya menahan lengannya.

"Nggak usah," Aya berkata. "Dan lo pergi aja. Gue pengen sendiri."

"Kenapa?" Rico malah bertanya.

Aya menyipitkan mata tak suka menatap cowok itu. "Gue nggak pengen liat lo juga. Makanya lo ..." Kalimat Aya terhenti saat tiba-tiba tangan Rico menutupi pandangannya.

"Sekarang lo nggak liat gue, kan?" ucap cowok itu dengan santainya.

Aya menepis tangan Rico dengan kasar. "Lo, tuh ..."

"Lo nggak perlu ngeliat gue juga, sih," sela Rico. "Lagian, bukannya selama ini, lo emang nggak pernah ngeliat gue?"

Aya mengernyit. Memang benar, tapi ...

"Gue nggak masalah lo nggak liat gue, ngabaiin gue, nganggep gue nggak ada. Yang mana pun, terserah. Tapi, jangan minta gue buat pergi juga." Rico terdengar begitu serius dengan kata-katanya. "Gue nggak pa-pa kalo lo mau marah ke gue. Silakan juga kalo lo mau maki gue. Tapi, gue nggak bakal pergi."

Terkejut akan kata-kata Rico, Aya sampai tak bisa bereaksi.

"Dan jangan ngusir gue kalo lo masih megangin gue kayak gini, Kay," ucap cowok itu seraya menatap ke lengannya yang masih dipegangi Aya.

Aya terbelalak panik dan buru-buru melepaskan cowok itu. Dia memaki kebodohannya sendiri ketika Rico tersenyum geli sebelum meninggalkan ruangan itu.

Bodohnya dia.

***

"Katanya besok lo udah boleh pulang," singgung Rico saat Aya menyelesaikan makan malamnya.

"Emang gue nggak pa-pa, kok. Orang-orang aja yang pada lebay," ketus Aya.

Bukan. Kekhawatiran mereka tidak berlebihan. Mengingat sejak kejadian itu, Aya selalu bermimpi buruk setiap kali dia tertidur. Cewek itu bahkan mengigau memanggil kakaknya. Jelas, dia memimpikan kejadian malam itu. Malam ketika dia kehilangan kakaknya.

Tapi melihat sikap Aya ini, orang tua Aya khawatir, jika mereka memaksa Aya menjalani pengobatan untuk ketakutannya, Aya justru akan semakin terluka. Mereka memutuskan untuk menunggu, sampai Aya sendiri siap. Entah sampai kapan.

Bahkan saat ini, tidak hanya orang tuanya, Aya juga mendorong om, tante dan sepupu-sepupunya yang peduli padanya, menjauh darinya. Bahkan Amel yang paling dekat dengannya pun, tak dibiarkan mendekatinya. Karena cewek itu mungkin takut, mereka akan melihat ketakutannya. Dia takut, mereka akan menemukan mimpi buruknya.

"Lo ngapain masih di sini?" tuntut Aya seraya melempar tatapan tajam pada Rico.

"Ntar kalo gue pergi, trus lo ditemenin suster ngesotnya, lo berani?" balas Rico cuek.

"Jangan nakut-nakutin gue," desis Aya. "Lo pikir gue bakal ketipu?"

Rico mengedikkan bahu. "Kalo nggak percaya, ntar tungguin aja. Toh barusan gue udah manggil tuh susternya. Jadi, ntar kalo lo pas sendirian, dan dia dateng, lo jangan kaget."

"Lo mau ke mana?" Aya terdengar panik saat Rico berjalan ke arah pintu.

"Katanya, tadi lo pengen ditungguin sama suster ngesotnya," sebut Rico.

"Nggak usah usil, deh!" kesal Aya. "Daripada ngoceh nggak jelas, mending lo tidur aja, deh. Di sofa, tuh. Ntar kalo gue haus, laper, atau mau ke kamar mandi gue bangunin. Gue masih kuat kok kalo neriakin lo dari sini."

Rico menunduk menyembunyikan senyum gelinya. Saat dia berbalik, dilihatnya Aya menatapnya, dengan dagu terangkat angkuh.

"Malem ini, gue bakal ngizinin lo nginep di sini," kata Aya lagi. "Bukan karena gue takut, tapi gue nggak enak aja kalo malem-malem ntar gue harus manggil perawat cuma karena gue haus. Besok pagi, lo bisa pergi. Pagi-pagi banget kalo bisa."

"Pagi-pagi banget? Tapi kemaren ada yang pas jalan-jalan pagi, ngeliat suster yang jalannya ngesot di sepanjang koridor depan, lho. Lo beneran ..."

"Lo tidur aja, deh, daripada ngomong nggak jelas gitu!" Aya terdengar benar-benar kesal. Cewek itu mendecak kesal ketika menyambar komik di samping bantalnya dan lagi-lagi, mengabaikan Rico sepenuhnya saat dia mulai membaca.

Bisa-bisanya Aya meminta Rico pergi, ketika cewek itu adalah satu-satunya alasan Rico untuk tinggal. Bisa-bisanya Aya memintanya menjauh, ketika satu-satunya orang yang kini menggenggam erat hatinya, hanyalah cewek itu.

***    

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang