Bagian Sembilan (3)

1.3K 173 14
                                    

Bagian Sembilan

 Yang Tampak Baik Tak Selalu Baik, Pun Yang Tampak Buruk Tak Selalu Buruk (3)


Rico bahkan belum sempat mematikan mesin motornya ketika dilihatnya Aya berlari keluar lewat pintu depan.

"Kak Aya belum sarapan, lho!" seru tantenya yang tergopoh ikut keluar.

"Udah telat, Tante!" Aya balas berteriak seraya menghampiri Rico, dengan senyum di bibirnya. Senyum.

Rico nyaris saja mendapat serangan jantung karenanya. Ada apa sepagi ini Aya sudah tersenyum padanya? Apa kepalanya terbentur pintu tadi? Atau, dia masih setengah sadar, belum benar-benar bangun dari tidurnya? Dan apa katanya tadi? Terlambat? Ini bahkan masih jam enam lebih sedikit. Sepertinya, cewek itu memang belum benar-benar bangun.

Rico hanya bisa melongo melihat Aya meraih helm di depan Rico dan memakainya, lalu naik ke belakangnya tanpa perlu diperintah.

"Ayo!" seru Aya di belakangnya.

Masih dengan bingung, Rico mengangguk sopan pada Tante Yani, sebelum melesatkan motornya ke jalanan. Dalam hati masih bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan Aya?

Begitu mereka tiba di pelataran parkir yang masih sepi, tidak seperti sebelumnya, alih-alih bergegas kabur, Aya justru dengan santai turun dari motor Rico, melepas helmnya dan menyerahkannya pada Rico, bukan melemparnya seperti biasanya.

"Kok masih sepi, ya? Pada lupa kali ya, kalo ini hari Senin? Ntar upacara, kan?" tanya cewek itu seraya merapikan rambutnya yang agak acak-acakan.

"Ini emang masih pagi, kan?" balas Rico seraya turun dari motornya dan melepas helmnya. "Tapi, lo kok ... semangat banget pagi ini kayaknya?" Tatapan herannya mengikuti Aya.

"Oh ya? Biasa aja, kok," elak cewek itu, tapi dia tampak berusaha menghindari tatapan Rico. "Gue ke kelas dulu," katanya cepat seraya berbalik, tapi Rico lebih cepat. Dia menahan lengan Aya dan menarik cewek itu ke arahnya, membuat Aya menabraknya.

Saat tatapan kaget Aya terarah tepat ke matanya, Rico menatapnya lekat. Lalu detik berikutnya, cewek itu memalingkan wajahnya dengan gugup.

"Ehm, awas, gue mau ke kelas dulu," katanya seraya berusaha menarik tangannya dari pegangan Rico, tapi dia sama sekali tak menatap Rico.

Mendadak Rico penasaran. Pertanyaan paling ganjil, paling tidak mungkin, tebersit di benaknya. Aya bertindak aneh seperti ini, bukan karena Rico, kan?

"Lo jangan-jangan ..."

"Nggak!" Aya tiba-tiba menyelanya.

Rico mengangkat alis. "Emangnya gue mau ngomong apa tadi?"

Aya berdehem. "Ayo ke kelas," dia berkata, dan kali ini, Aya tidak berkata dia akan pergi lebih dulu.

Rico tersenyum. "Ya. Ayo."

Aya tersentak pelan ketika Rico mengenggam tangannya, tapi dia tak berusaha menarik tangannya dari pegangan Rico. Dan sungguh, ini mengejutkannya. Apa Aya benar-benar baik-baik saja?

***

Upacara pagi itu berantakan ketika di tengah upacara, tiba-tiba beberapa petugas kepolisan datang. Upacara dihentikan di tengah acara dan salah seorang murid kelas dua belas, mantan Ketua OSIS tahun kemarin, dipanggil ke ruang guru dari pengeras suara.

Kelas Aya langsung heboh, apalagi karena sebagian dari mereka memang mengagumi Iwan, yang dikenal sebagai sosok keren dan teladan di sekolah ini. Ketika Erja yang sepertinya sempat mencari informasi ke kelas-kelas lain, kembali ke kelas dan menceritakan tentang Iwan yang ketahuan menggunakan narkoba, semakin hebohlah teman-teman sekelas Aya. Bahkan di sebelahnya, Isha berkali-kali bergumam tak percaya,

"Wah, aku masih nggak percaya Kak Iwan teh bisa begitu, Ay."

Aya diam-diam melirik ke tempat duduk Rico dan mendapati cowok itu tampak melamun. Apa dia juga tahu sesuatu tentang ini? Dia terkenal suka membuat masalah. Dari tawuran, merokok hingga memalak adik kelas. Meski setelah Aya menghabiskan banyak waktu dengannya, dia menyadari tak pernah sekali pun dia melihat langsung cowok itu babak belur karena berkelahi.

Tidak pula dia pernah melihat cowok itu merokok. Dan jika diingat-ingat, dia tidak memalak adik kelas mereka, tapi hanya menyuruh mereka membelikan sesuatu untuknya, atau melakukan sesuatu untuknya. Bahkan ketika dia menghadapi preman yang pernah menggoda Aya dulu juga ... teman-temannya hanya menghajar orang-orang itu karena mereka menggoda Aya. Tapi ...

Aya tersentak kaget dan buru-buru memalingkan wajah ketika tiba-tiba Rico menoleh ke arahnya. Aya berpura-pura sibuk membaca komik yang dia selipkan di tengah buku pelajarannya.

Aya kembali tersentak kaget ketika tiba-tiba seseorang memegang pergelangan tangannya dan menariknya berdiri. Kehebohan di kelasnya seketika terhenti. Aya bisa merasakan perhatian teman-teman sekelasnya tertuju padanya.

"Gue mau ngomong sama lo," Rico berkata. Tapi kemudian, dia memberesi buku pelajaran Aya dan memasukkannya ke tas Aya. Dia lalu menoleh pada Isha dan berpesan, "Ntar kalo ada yang tanya, bilang gue nganterin Aya pulang, ya? Dia masih nggak enak badan."

Isha dengan patuh mengangguk. Aya menatap Rico dengan bingung, tapi dia tidak sempat bertanya ketika cowok itu menariknya pergi dari sana. Rico membawanya melewati taman belakang, dan Aya teringat ketika dulu dia menyiram kepala Rico karena kesal di sini.

Melewati pintu belakang, Rico membawa Aya keluar dari sekolah. Cowok itu juga sudah memakai jaketnya dan membawa ransel sekolahnya juga.

"Ini kita mau ke mana?" tanya Aya.

"Nepatin janji lo buat nemenin gue jalan-jalan," balas Rico.

"Ha? Kapan gue ..."

"Sori ya, waktunya mendadak gini. Waktu gue nggak banyak soalnya," sela Rico.

Aya mengerutkan kening bingung. Tapi, dia tak mendebat lagi dan dengan patuh mengikuti langkah lebar Rico yang membawanya menjauh dari sekolah.

***    

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang