Taehyung---dengan hoodie kebesaran milik Minho dan masker putih yang dibeli Bogum di apotek---berjalan melewati koridor rumah sakit dengan perlahan.
Bukan berlebihan atau apa, tapi ia merasakan sengatan ngilu di bagian perutnya. Maklum, belum terhitung satu hari ia operasi. Namun masa bodoh dengan rasa sakit itu, yang penting ia sudah sembuh---hampir.
Ya, setidaknya kali ini ia sudah bisa mulai untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Dan tujuan pertama, adalah ruangan Jungkook.
Ia menghela nafas sembari memasukkan jemari panjangnya kedalam saku hoodie. Sesekali ia tersenyum tipis, karena jujur saja hatinya sedikit lega.
Setelah sedikit bercerita kepada kedua hyung-nya, beban di hatinya seperti lebih ringan. Terlebih ketika Taehyung merasakan betapa besar usaha mereka untuk memberikan saran terbaik.
Lengkung tipis itu perlahan menjadi senyum kecut mengingat bahwa ia tak menceritakan yang sejujurnya---setidaknya separuh dari ceritanya benar. Atau mungkin seperempat?
Bukannya Taehyung tak percaya pada Bogum dan Minho. Ia hanya belum siap menceritakan semuanya. Menceritakan apa yang telah berlalu dan juga,
Segala rahasia kelam yang ia simpan rapat-rapat. Ia malu dan sangat takut, ia belum siap jika nanti pertahanannya roboh begitu saja. Masa lalunya terlalu buruk untuk diingat.
Ia menggeleng pelan mengusir pemikiran tersebut sembari melepas masker yang dipakainya. Kemudian ia membuka pintu ruangan dimana Jungkook dirawat.
"Sendiri lagi?" Taehyung mengernyit heran mendapati adiknya sedang terbaring memegang ponsel dengan televisi menyala dihadapannya, sendirian.
"A--ah! V hyung? a--aku... itu---" Jungkook gelagapan menyadari Taehyung berada di ruangannya. Tangan itu bergerak asal menyembunyikan ponselnya, kentara sekali panik.
Wajah Taehyung berubah datar, dengan cepat ia mendekati Jungkook yang paniknya luar biasa. Mata tajam itu menatap Jungkook curiga, lalu mengalihkan atensi saat rungunya menangkap suara televisi yang menayangkan sebuah berita.
Ia menatap layar berdimensi itu dengan tenang. Sedangkan sang lawan bicara sudah tertunduk gemetar, takut. Dalam hati sudah pasrah jika ia akan diamuk untuk kesekian kalinya.
Taehyung memang terlihat tenang, tapi Jungkook tahu sekali jika saat ini hyung-nya marah besar.
Taehyung bergerak mematikan televisi sebelum berjalan mendekat kearah Jungkook. Tangannya menarik selimut Jungkook kasar, meraih ponsel yang sebelumnya berada di balik selimut itu.
Ia membuka ponsel itu secara perlahan, dan matanya menajam kala mendapati sesuatu disana. Ia mematikan ponsel tersebut, lalu menaruhnya diatas nakas.
Setelahnya ia bersedekap dada, dan mulai berbicara. "Apa ini, Jungkook?" tanyanya tenang. Jungkook menggeleng pelan, air mata sudah mengalir dengan derasnya di pipi tirus itu.
Rahang Taehyung mengeras, "Aku bilang apa kemarin?" suaranya memberat. Dan Jungkook bersumpah, Taehyung yang berada di depannya saat ini sangat amat menyeramkan.
Jantung Jungkook berdentum keras, membuat sang empu tercekat karenanya. Mulutnya berusaha merangkai kata walau sedikit tersendat. "Mianhae...aku--"
Taehyung menghela nafas kasar lalu memejamkan matanya. Merapalkan puluhan kata untuk menenangkan dirinya yang kini sedang disulut emosi. Ia tak boleh lepas kendali.
Ia membasahi bibirnya, lalu mencoba berbicara dengan nada tenang. "Tak usah pedulikan mereka. Hanya orang bodoh yang mengatai kita membuat skandal, dan kau hanya berpura-pura sakit agar kita semakin terkenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
deepest [kth]
FanfictionSeharusnya tidak akan terasa sakit, sama sekali tidak bagi seorang Kim Taehyung yang nampaknya hanya tahu bagaimana cara menjadi brengsek di hadapan member grupnya. Seharusnya tidak akan terasa menyakitkan, karena walau orang-orang tak pernah tahu...