Prolog

55 8 0
                                    

"Kiri, Bang." ucap Zahra kepada sopir angkutan kota.

Zahra memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Tiba-tiba ia ingin sekali menikmati indahnya warna jingga sore di taman. Alhasil, masih dengan seragam putih abu-abunya, Zahra duduk di salah satu taman kota.

Zahra sering seperti ini. Hanya duduk, tanpa melakukan hal apapun hingga hari mulai gelap. Ia sangat suka sendiri. Berbanding terbalik kala ia kecil. Zahra kecil sangat takut sendiri. Ia benci sendiri. Tapi, keadaan saat ini memaksanya berani. Masa remajanya dipaksa menjadi dewasa.

Bagaimanapun, ia dituntut mandiri. Melakukan semuanya sendiri.
Di atas kursi taman, Zahra termenung. Enam bulan bukan waktu yang lama untuk melupakan segala kenangannya. Bahkan, masih terasa dan kadang terlihat nyata.

Entah apa yang pernah ia lakukan di masa lalu hingga mamanya mendapat ujian yang sebegitu beratnya.

Sejak naik ke kelas tiga SMP, mamanya sakit-sakitan dan berakhir tepat saat Zahra awal masuk SMA. Sehingga ia tidak mengikuti Masa Orientasi Siswa di sekolahnya karena berduka cita.

Satu-satunya yang ia miliki saat itu adalah ayahnya. Ayah yang entah setahun itu menjadi dua kali lebih sibuk.

Tak ada tempat bersandar. Tak ada telinga yang mau mendengarkan keluh-kesahnya. Tak ada teman untuk mencurahkan isi hatinya. Karena, seminggu setelah mamanya meninggal ayahnya juga ikut meningalkan dirinya. Meninggalkan jauh sekali, di negeri orang yang tak lain untuk membentuk keluarga baru.

Dan di saat yang bersamaan, sahabat satu-satunya yang ia miliki sejak SMP sekaligus satu-satunya teman yang paham dengan Zahra melanjutkan pendidikan SMA di luar negeri.

Itulah titik puncak dimana Zahra benar-benar sendiri.

Tapi dia percaya 'oneday' akan datang. Suatu hari dimana ia akan menemukan kebahagiaan yang kini telah hilang.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang