Sepuluh

9 4 0
                                    

Ratu masih hafal betul jalan menuju tempat yang ia sebut taman surga sewaktu kecil. Tidak jauh, hanya satu kilometer dari rumahnya. Ratu sedikit kecewa karena bunga favoritnya yang berwarna kuning sudah tidak ada.

Tapi tetap saja indah khususnya di mata Ratu. Ia memilih tempat paling nyaman dan duduk termenung di pinggir sungai.

Ratu tersadar dari lamunannya begitu ada seseorang menepuk bahunya.
“Astaghfirullah... kaget tau.” ucap Ratu sambil mengusap dadanya.

“Makanya, jangan ngelamun dong. Apalagi di bawah pohon besar kayak gini.”

“Angga?” tanya Ratu dengan ragu.

“Lo, kok kamu tau namaku? Apa kita pernah kenal?” tanya Angga bingung.

Ratu menepuk jidatnya lalu menjawab, “Masa kamu lupa sih? Aku Ratu. Temen kamu di masa kecil. Inget nggak?” jawab Ratu dengan semangat.

Angga hanya menggeleng.
Ratu sempat kecewa. Masa dengan semudah itu Angga melupakan Ratu. Padahal Angga teman pertama Ratu dan juga orang yang  dia sayang selain keluarganya.

Eh, ngomong apaan sih. Kan aku udah punya Kak Rangga.

“Meski aku lupa, nggak masalah kan kalau kita temenan lagi?” tanya

“Iya.”

Ratu berpikiran bahwa mungkin Angga lupa karena memang sudah sepuluh tahun yang lalu waktu ia masih umur enam tahun sedangkan saat ini ia sudah hampir umur enam belas.

Tapi bagaimanapun Ratu tidak pernah lupa dengan Angga mengingat Angga sangat berharga meski hanya seminggu mereka dekat.

“Angga, kamu terus sekolah di sini?” tanya Ratu memecah keheningan.
Angga yang sedikit bingung dengan pertanyaan Ratu. Apa maksudnya ‘terus di sini’?

Tapi, ia hanya menjawab, “Aku SMA di Kota Malang. Sekarang lagi nunggu panggilan dari kampus, jadi aku liburan di sini sama sekalian jagain kakek.”

Kampus? Bukannya dulu hanya terpaut umur setahun? Seharusnya kan masih kelas sebelas. Mungkin dia terlalu pinter jadi cepat lulus. Iya, ya. Kan bisa exel. batin Ratu.

“Berarti aku harus panggil ‘kak’ dong. Kan aku masih kelas satu SMA?” tanya Ratu sedikit bergurau.

“Santai aja kali... gak usah pake ‘kak’ segala.”

Seperti dulu, Ratu menemani Angga memancing di ‘taman surga’nya sampai matahari hampir terbenam. Ratu merasa nyaman karena ia mengira ia sudah kenal lama dengan Angga.

Setiap malam, Ratu menjahit di rumahnya. Ia memakai mesin jahit mamanya dulu yang walau antik tapi masih awet. Mungkin kepandaian mamanya dalam menjahit diwariskan kepada putri satu-satunya ini.

Namun, Ratu belum mempersiapkan apapun sehingga ia hanya menggunakan kain perca. Dan esok ia memutuskan pergi ke pasar untuk membeli bahan jahitan sekaligus ingin mengabari Rangga.

“Apa aku masih ingat jalan menuju pasar ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“Oh iya. Kan ada Angga.” jawabnya sambil tersenyum.

------------- ------------- ------------- -------------
“Emang bisa jahit kamu? Sok-sok an mau beli bahan jahit.” ujar Angga sambil mengacak-acak rambut Ratu yang dibiarkan terurai sambil tertawa.

“Bisa lah. Enak aja. Mau ya, nganter?”

“Tapi adanya sepeda ontel. Mau boncengan?” tanya Angga menantang.

“Malah seru dong.” jawab Ratu penuh semangat.

Aneh. Biasanya cewek paling takut kulitnya item karena kepanasan, batin Angga lalu berkata, “Okee. Kamu pulang dulu. Nanti jam 9 aku jemput.”

“Masih 2 jam lagi dong.”

“Emang ada toko kain buka jam 7?” tanya Angga sambil menaikkkan sebelah alisnya.

“Iya juga sih.”

“Jangan sedih dong. Kita jalan-jalan yuk.” ucap Angga lalu menggandeng tangan Ratu.

“Mau kemana?”

“Masih banyak tempat indah belum kamu kunjungi.”

Ratu menjawabnya dengan senyum. Hari itu, Ratu tidak lagi merasa kesepian. Meski hanya di sebuah desa kecil tapi Angga membuktikan bahwa di dalamnya terdapat kebahagiaan yang luas.

Malam terakhirnya sebelum kembali ke Surabaya, Ratu memandangi taburan bintang di langit sambil termenung.

Ketika bertemu kembali dengan cinta pertamanya seminggu hari yang lalu, Ratu merasa sudah cukup. Angga masih sama. Selalu baik pada Ratu. Lalu bagaimana dengan Kak Rangga, pacar yang juga belum lama jadian?

Ratu berpikir bahwa ia harus memilih salah satu. Karena akan semakin rumit jika dibiarkan. Apalagi setelah mendengar tadi sore bahwa Angga akan sekolah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Mereka akan sering bertemu. Ratu tidak ingin menyakiti hati Kak Rangga.

Tapi di sisi lain, ia tak ingin membohongi hantinya bahwa ia masih memiliki rasa yang sama kepada cinta pertamanya.
Lamunannya buyar karena tiba-tiba Angga duduk di sampingnya.

“Sudah lama?” tanya Ratu kaget.

“Ngelamun aja. Jangan lupa besok berangkat habis Subuh. Udah siap belum?”

“Udah kok. Besok ke terminalnya gimana?”

“Ngapain ke terminal?” tanya Angga bingung.

“Ya nunggu bis. Gimana sih?”

“Kan ada mobil.”

“Lo.. bukannya kemarin pas mau ke pasar bilang kalau adanya sepeda ontel, ya?”

“Hehehe... maaf ya, kemarin aku bohong.” Jawab Angga sambil tersenyum tanpa dosa.

“Kenapa bohong?”

“Ya biar seru gitu. Naik sepeda melewati sawah-sawah berdua.” ucapnya sambil mengacungkan dua jarinya.

“Dasar modus!”

“Biarin! Udah ah, kamu segera masuk. Istirahat yang cukup ya.” pamit Angga sambil mengacak rambut Ratu.

Tapi, Ratu merasa ada yang aneh dengan perlakuan Angga barusan.
“Okee” jawab Ratu lalu masuk dan mengunci pintunya.

------------- ------------- -------------  -------------
Room Chat
Ratu: Kak, Ratu udah sampe rumah nih.
Kak Rangga is calling...

“Hallo.. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah sangat baik.”
“Hmmh.. syukur deh. Udah dulu ya, di sini masih repot. Langsung ketemuan pas di sekolah aja deh. Jaga diri baik-baik ya... Bye.”
Tuuut.... Tuttt...

Kok sambungannya langsung diputus gitu sih? Ada apa ya dengan Kak Rangga? Aneh.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang