Dua Puluh Dua

8 2 0
                                    

"Ada yang mau aku omongin. Lebih tepatnya pamit."

Tidak ada respon dari Ratu. Perasaannya semakin semakin kalut. Sudah tertebak dari awal. Orang yang ia sayangi lambat laun akan meninggalkannya.

"Aku mau ke Singapore, seminggu lagi."

"Kok mendadak, Ga?" tanya Ratu menahan tangannya yang mulai gemetar. Bahkan menatap wajahnya pun tak sanggup.

"Iya, proposalku diterima. Kayak student exchange gitu. Aku juga nggak nyangka banget."

Hening beberapa detik. Lalu, "oh, kalau gitu selamat ya, Ga. Akhirnya impian Lo kesampaian. Lo pasti jadi jaksa yang hebat nanti."

Sedangkan Angga juga bingung mau merespon seperti apa.

"Makasih ya. Aku antar pulang yuk."
Dan sepertinya ini jadi terakhir kalinya aku nganter kamu Ratu.

----
Bego banget emang gue. Bisa-bisanya gue nyewa ruko padahal gue aja belum ada rencana bisnis apa? Untung aja gue nyewanya mulai bulan depan.

Tiba konsentrasinya beralih pada hubungan sahabatnya, Aldi.
Kenapa mereka bisa awet sampai tiga tahun ini ya? Gue telpon aja deh. Penasaran banget.

"Waalaikumussalam. Ada yang pengen gue tanyain, Al."

...

"Kenapa hubungan lu sama Nadiah bisa awet sih. Pasti ada rahasianya kan?"

"Gue kirain lu mau tanya rumus ekonomi besok kan ujian terakhirnya ekonomi." cela Aldi sambil ketawa.

"Gue serius, Al."

"Yaelaah, Ga. Mana ada resep rahasia tentang cinta."

"La terus?"

"Hubungan itu tentang perasaan dan kepercayaan, Ga. Kalau lu udah berani nembak Ratu berarti lu udah percaya sama dia. Jadi nggak ada keraguan lagi sama dia. Jadi ngga seharusnya ada curiga. Seharusnya lu mastiin dulu ke Ratunya. Biar ngga ada salah paham."

Rangga mencermati setiap perkataan Aldi. Dia benar-benar bisa diandalkan. Nasihatnya bisa menggantikan peran abangnya yang acuh.

"Tapi, Al. Udah terlambat gue. Dulu begitu lihat Ratu ada di roof top apartemen gue sama cowok lain, gue begitu kalut. Entahlah, gue bener-bener gak bisa ngontrol emosi gue. Semua pikiran negatif udah keluar gitu aja ketika lihat mereka berdua gandengan tangan."

Bahkan Rangga bisa mencurahkan kegundahannya pada Aldi tanpa ada ragu dan tak ada yang ia disembunyikan.

"Mencoba maju meski ragu lebih baik daripada menunggu tanpa ada yang dituju. Kalau emang lu nggak bisa lepasin dia, ya Lo harus perjuangin dia. Gak ada kata terlambat untuk nyoba, Ga."

"Gila, lu emang malaikat, Al. Mudah banget gue kehasut sama nasihat lu. Bangsat lu emang."

Remaja banget. Kalau udah ada maunya, sekarang juga langsung berangkat.

----

Ratu nggak ada gairah sama sekali untuk belajar seperti biasanya. Alhasil, sejak pulang sore tadi ia langsung mengaji sambil menahan matanya yang berlinang. Kebiasaan Ratu ketika sedih tetap sama. Menangis sambil baca Al-Qur'an sampai lelah lalu terlelap.

Namun baru akan ke juz keempat, ada suara ketukan pintu di rumahnya. Ia langsung menyudahi dan menuju pintu tanpa melepas mukenanya.

Begitu Rangga melihat Ratu yang memakai mukena dengan mata sembab sungguh tak tahan untuk tidak mendekapnya. Entah kenapa melihat pujaan hatinya menangis, hatinya ikut hancur. Tapi, apa daya. Sebulan tanpa komunikasi membuatnya gugup dan canggung.
Ratu juga tidak seperti dulu. Ia tidak segera meminta Rangga masuk seperti sebelum-sebelumnya.

"Ada apa, Kak?"

Sebulan memang waktu yang singkat. Tapi berbeda dengan mereka berdua. Sebulan cukup membuatnya berbeda. Seakan ada sekat yang saling dibangun antara dua kubu. Perasaan aneh dan canggung sangat terasa di antaranya. Seperti sudah setahun berlalu.

"Maaf, Rat."

"Untuk apa, Kak?"

"Untuk keegoisanku."

Mendengar jawaban Kak Rangga membuat Ratu seperti disambar petir. Bukan Kak Rangga yang egois. Justru ia lah yang egois. Ia berpaling ke lain hati hanya karena cinta pertamanya kembali. Ia merasa sangat bersalah dan membuat matanya tiba-tiba memanas.

"Bukan Kak Rangga yang salah tapi... Hiks hiks."

"Sssttt... Jangan nangis dong. Udah malam nanti aku digerebek warga." canda Rangga menenangkan.

Ratu bertambah rasa bersalahnya karena Rangga sama sekali tidak berubah walau Ratu sudah meninggalkannya.

Rangga sangat merindukan orang yang ada di depannya. Apakah masih mungkin Ratu menjadi orang spesialnya seperti dulu? Tentu saja, Ratu sangat berharap demikian. Dan tentunya, ia akan berjanji tidak akan mengulangi kebodohannya.

"Ratu." suara Rangga serak tapi mampu membangunkan Ratu dari lamunannya.

"Iya, Kak?" Ratu memberanikan untuk menatap mata Kak Rangga. Dengan tatapan tulus, berharap masih ada kesempatan baginya untuk kembali.

Sampai akhirnya terjawab dengan ungkapan dalam dari Rangga, "Aku rindu kamu, Ratu."

Empat kata dengan akhiran suku kata 'u' tersebut berhasil membuat Ratu kembali tersenyum bahagia. Tersenyum sangat dalam sampai-sampai tak menyadari Kak Rangga sedang memperhatikannya dengan seksama.

"Eh, kak. Masuk yuk."

"Keluar aja yuk."

"Kemana?"

"Lihat lampu malam."

"Ayo." jawab Ratu semangat.

"Kamu mau keluar peke mukena?"

"Ha?? Oh, iya. Ratu ganti baju dulu ya, Kak." ucap Ratu dengan menyadari bahwa ia selalu salah tingkah dan tidak fokus di depan Kak Rangga.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang