Tujuh

15 4 0
                                    

Begitu Rangga melihat Ratu, ia bertanya, “Mau ngapain di sini?”

“Nunggu angkot.”

“Ya ampuuun.. Ngapain nunggu angkot. Kan aku bawa motor. Yaudah deh, tunggu sini.” ucap Rangga lalu pergi ke parkiran.

“Drummmph.. cit.”

Ya Allah.. belum pernah aku menunggangi motor sekeren ini. Komentar apa yang bakal diberikan Rani jika ia melihat aku naik motor ini dengan cowok idola sekolah?
“Ratu! Ayo buruan naik.” perintah Rangga yang langsung diangguki Ratu.

“Chiit...”
Rem mendadak yang membuat ratu hampir terjerembap ke belakang.

“Hampir jatuh, kan? Makanya jangan pegangan besi belakang.”
Dengan  patuh Ratu memegangi pundak Rangga.

“Ratu, mana ada cowok sekeren aku jadi tukang ojek? Jangan pegangan pundak dong.”

Jangan pegangan besi, jangan pegangan pundak. Maksudnya apaan sih? oh, jangan-jangan? Tidak. No no.

Melihat tidak ada gerakan sama sekali dari Ratu, Rangga menarik tangan gadis itu di perutnya.

Otomatis, Ratu menarik tangannya lagi. Dengan sigap Rangga menahan tangan kecilnya.

Dan saat itu, Rangga merasakan degup jantung Ratu yang menempel di punggungnya. Rangga hanya terkekeh karena ternyata Ratu sedang berdebar.

“Santai aja kali, Rat. Bentar lagi udah jadi.”
Ratu tidak bisa berkutik, ia hanya pasrah yang tangannya sedang merangkul perut orang lain. Orang lain yang baru saja ia temui. Orang lain yang dengan memaksa ingin masuk ke kehidupannya. Meski sejujurnya Ratu senang akan kehadiran teman yang sanggup membantunya. Tapi Ratu ragu. Ragu itu hanya ilusi. Yang nantinya berakhir sama. Meninggalkan Ratu sendiri.

Sedangkan Rangga tersenyum karena ia berhasil menguasai dirinya di depan Ratu. Dan Rangga merasakan berbeda saat bersama Ratu. Seperti ada bagian yang melengkapi dirinya. Karena hanya Ratu yang cara memandang dirinya berbeda. Tidak seperti cewek lain yang mendekati Rangga karena fisik dan material tanpa memikirkan suatu hal yang Rangga butuhkan.

“Kak, sudah sampai.” ucap Ratu dan segera melepaskan tangannya yang pelingkar di perut Rangga.

“Loo.. yangmana rumah kamu?” tanya Rangga karena tak melihat ada rumah satu pun di sana.

“Mari, Kak. Sepedanya diparkir di sini saja. Jangan lupa dikunci.”
Rangga hanya menuruti saja dan segera mengikuti Ratu yang berjalan memasuki lorong gelap di antara dua gedung tua yang besar.

Dalam diam, Rangga tidak menyangka bahwa Ratu bertempat tinggal di tempat seperti ini. Bahkan dilihat dari luar tidak tampak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Sangat asing bagi Rangga. Jauh berbeda dari rumahnya. Apalagi rumahnya di Surakarta, yang tak lain adalah keraton. Dan yang tak disangka lagi, di rumahnya kosong. Tidak ada siapa pun.

“Ratu, orang tua kamu mana? Ayah? Bunda?” tanya Rangga bingung.

“Kakak mau minum apa? Duduk sini dulu, ya? Saya ambil es jeruk sebentar.” jawab Ratu dan menuju ke dapur.

“Ini, Kak. Diminum dulu.”

“Iya. Makasih.” Ucap Rangga dan langsung menyeruput es jeruk hingga setengah gelas karena ia sangat haus.

“Ini rumah saya.” Ratu mulai bercerita. “Saya tinggal di sendiri di rumah kecil ini sudah enam bulan ini. Awalnya, hidup saya bahagia banget. Saya hidup di desa di rumah nenek bersama ayah dan mama. Tapi saat umur saya enam tahun, nenek saya meninggal. Ayah dan mama memutuskan untuk pindah ke kota.

Dari hasil penjualan tanah yang diwariskan nenek di desa, kami berhasil membangun pabrik besar.
Ya, pabrik yang ada di depan itu. Mama pandai menjahit sedangkan ayah pintar bisnis. Sehingga mama bagian produksi dan papa pemasarannya.

Meski nenek meninggal, saya masih tetap bahagia karena ayah dan mama sayang banget sama saya. Sampai akhirnya saat saya naik kelas tiga SMP, ayah pulang larut. Ayah dua kali lebih sibuk dari biasanya. Dan mama selalu marah-marah. Kerap sekali mereka bertengkar dan pada akhirnya ayah keluar rumah dan jarang pulang.

Semakin lama, bisnisnya mulai bangkrut. Banyak pekerja yang mengundurkan diri. Mama tidak bisa mengendalikan bisnis sendiri sedangkan saya yang masih SMP tentu tidak paham. Dan akhirnya, mama sakit jantung komplikasi. Rumah sakit seperti tempat yang wajib saya kunjungi selama enam bulan. Karena setiap minggu dua kali saya menemani mama ke dokter.

Sejak saat itu, hidup saya tidak seperti remaja lain. Saya sudah harus bangun jam tiga pagi setiap harinya demi membantu ibu memasak dan membersihkan rumah. Saya harus menyiapkan kebutuhan sekolah sendiri.

Saya senang, saat graduasi saya bisa membanggakan mama. Saya berhasil meraih nilai Ujian Nasional Tertinggi Kedua di sekolah. Dan saya berhasil meraih impian saya untuk sekolah di SMAN Bunga Bangsa bersama sahabatku sejak SMP, Afifa. Belum saya sempat mengikuti MOS di sekolah impian saya, mama masuk ICU. Mama kena serangan jantung dan meninggalkan saya selamanya.”

Rangga tidak tega memaksa Ratu buat cerita karena melihat mata gadis itu sudah berlinang air mata.

“Sudah, Ratu. Nggak usah dilanjutin lagi.” ucap Rangga sambil berusaha menghentikan tangis gadis sebelahnya itu.

Tapi, Ratu malah menyingkirkan tangan Rangga dan kembali meneruskan ceritanya

Ratu mengela napasnya lalu berkata, “Seminggu setelah kematian mama, ayah menggurus segala administrasi dan berpamitan kepadaku. Entah tidak punya hati nurani atau bagaimana meninggalkan putri tunggalnya sendirian. Dan begitu aku masuk sekolah, Afifa tidak ada. Tanpa kabar, ia pindah ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.”

Ratu menyadari begitu tragis hidupnya. Selama ini ia memendamnya sendiri. Dan kini, untuk pertama kalinya ia mencurahkan isi hatinya. Segala sesak dan kekeluan di hatinya kepada seseorang yang baru ia kenal dua hari yang lalu, Rangga.

Rangga mengulurkan tangannya. Dengan lemas dan bercucuran air mata Ratu menyandarkan kepalanya di atas bahu Rangga, Raden Rangga Arya Hamizan.
Ratu berhenti menangis setelah ia benar-benar merasa lega. dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena sudah enam bulan beban ini ia pikul sendiri.

“Maaf.” ucap Ratu sambil mengusap pipinya dan duduk tegak, bangun dari pundak Rangga

“Kadang seseorang perlu menangis untuk bisa tersenyum di hari esok. Nangis aja, Ratu. Asalkan jangan selamanya nangisnya. Karena selanjutnya kamu harus berjuang, berjuang untuk meraih kebahagiaan.”

“Selama enam bulan ini aku tidak pernah menangis sekalipun. Bahkan saat mama meninggal pun tidak ada setetes air mata yang keluar dari ujung mataku. Semuanya aku pendam. Dan aku yakin bahwa roda berputar, dan ‘oneday will be come true’. Suatu hari dimana aku bisa melalui traumaku dan berhasil meraih kebahagiaan yang dua tahun ini hilang.”

“Ratu, Ratu Disya az-Zahra, izinkan aku untuk membantumu. Membantumu tuk mewujudkan ‘oneday’ mu.” pinta Rangga kepada 

“Aku takut.” jawab Ratu singkat.

“Takut apa, Rat?”

“Takut jika kamu hanya mampir sesaat. Kau hanya menyediakan bahumu tukku bersandar tapi tidak menetap.”

“Ratu, tidak ada yang bisa selamanya. Meski ada judul lagu ‘Cinta yang Abadi’ tetapi pada dasarnya tidak ada yang abadi, kecuali Allah. Tapi aku berjanji bahwa kebahagiaanmu lah kunci kebahagiaanku.”
Ratu menundukkan kepalanya dan badanna menggigil. Ratu menangis.

“Ratu, kamu kenapa?”

Ratu tidak membalas pertanyaan Rangga, tapi Ratu memeluk Rangga sambil membisikkan, “Terima kasih, Kak Rangga.”

Rangga membalas pelukan Ratu sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya Ratu memanggil namanya, tidak kakak lagi.

“Sudah sore. Aku pulang dulu ya, beib.” ucap Rangga yang menyebabkan timbul semu merah di pipi Ratu.

Ratu mengangguk dan mengantarkan Rangga ke depan rumah.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang