Lima

23 5 0
                                    

“Ya udah lah, Ra. Gak usah dipikir sampek serius kayak gini.” ucap Rani sambil jalan beriringan untuk pulang sekolah bareng sampai di pangkalan angkot.

Mendengar tidak ada sahutan dari sahabarnya, Rani berusaha menenangkan dengan, “Lu tadi lihat momen terakhir Kak Rangga di kantin tadi nggak?”
“Yang apa?”
“Waktu dia naikkin sebelah alisnya. Sumpah, Ra. Ganteng banget, kece abis.”

Zahra hanya tersenyum. Dia tidak bisa memungkiri bahwa Kak Rangga memang ganteng. Apalagi pose seperti itu, membuat Zahra tidak bisa berkutik. Manis, cool.

“Woooy.. Malah ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Kenapa hayoo?” goda Rani.
“Apaan sih? Udah dulu ya, aku mau langsung pulang. Angkotnya udah nunggu. Bye.” sahut Zahra dan langsung masuk angkutan kota.
“Ciee... Akhirnya Zahra jatuh cinta juga.” ucap Rani mengakhiri percakapannya karena angkot yang searah dengan rumah Rani juga sudah datang.
-----------------------------------------------------------
Suara geludug terdengar menggelegar di luar rumah. Zahra langsung bangkit dari dapur dan segera menuju ke kamarnya. Ia segera mengunci dan naik ke atas kasurnya.

Di rumah sendirian ditambah dengan trauma yang cukup besar tentang hujan membuat Zahra benar-benar merasa takut. Bahkan ia tidak ingin mendengar suara hujan sedikit pun. Satu-satu cara yaiu memasang handset dan menyetel film.

Zahra berusaha untuk fokus pada filmnya agar tidak memikirkan hal-hal buruk, terutama tentang masa lalunya. Kurang tepat jika disebut masa lalu karena kejadian itu masih terjadi setengah tahun yang lalu.

Setengah tahun yang mampu membuat hidup Zahra terguncang. Yang mana penyemangat hidupnya telah tiada. Cahaya harinya meredup. Pelangi yang mewarnai langit langsung luntur. Diganti dengan hujan yang tiada reda. Bahkan satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya ikut pergi.

“Aduh..” keluh Zahra karena lehernya terjirat handsetnya.
Zahra melihat jam yang menempel di dinding kamarnya.
“Sudah jam dua pagi, ya? Berarti aku tadi tertidur.” ucapnya pada diri sendiri.

‘Alhamdulillah... hujannya sudah reda’ batin Zahra sangat lega.
Karena tidak bisa tidur, Zahra mengambil box hitam di loker kamarnya. Otaknya mulai beraksi. Dengan ulet dan ide kreatifnya ia membuat sebuah pigora tiga dimensi.  Pigora tersebut 30 x 25 cm untuk ukuran foto 10 R.

Pigora tersebut dibuat dengan latar belakang gunung dengan sungai yang dikelilingi taman bunga yang indah. Tak lupa Zahra menambahkan perahu kecil dari orogami warna merah.
Zahra sangat puas melihat hasil karya.

Hasilnya sesuai dengan bayangan Zahra di tempat favoritnya sewaktu kecil. Dia begitu ingat dengan tempat itu. Saat pagi, udara begitu sejuk serta berkabut tipis membuat tempat itu sangat keren. Kicauan burung cicit yang saling bersahutan dengan sungai yang tenang menjadikan kedamaian di sana.

Zahra sangat rindu kampung halamannya yang ia tinggali selama enam tahun di awal hidupnya. Dimana hidupnya benar-benar sempurna. Tinggal bersama ayah dengan sikapnya yang sayang, mama yang sangat hangat, serta cerita hikayat dari neneknya. Tiga orang tersebut bagaikan pion hidupnya. Tinggal bersama mereka membuat Zahra tidak perlu seorang teman bahkan tempat hiburan. Tetapi, satu demi satu orang yang amat ia sayangi pergi. Pergi meninggalkan Zahra seorang diri.  Di sebuah rumah di tengah kota yang kecil bahkan tidak ada orang yang tahu bahwa ada si penghuni di dalamnya.

Air mata yang menetes ke tangannya, membuat Zahra tersadar dari lamunannya. Jam sudah menunjukkan jam tiga pagi, Zahra segera merapikan lagi box hitamnya dan memajang karyanya di sebelah televisi kamarnya serta bergegas untuk melaksanakan ibadah malamnya yang rutin ia kerjakan sejak masa putih birunya.
-----------------------------------------------------------
Di dalam angkutan kota yang membawanya menuju sekolah, tampak Zahra berkutik dengan notes dan bolpoinnya.

Alasan apa ya, yang pas kepada Bu Diana? Ayah nggak mungkin datang, batin Zahra sambil membuat sketsa percakapan saat pengambilan rapot.

Ya udah deh, nggak usah masuk ruang kelas. Ke mana gitu. Nanti kalau wali murid udah pergi, aku masuk dan berkata sesungguhnya, putus Zahra dan segera memasukkan alat-alat itu ke tasnya.

Baru kali ini, aku ngambil rapot tanpa orang tua. Biasanya, Zahra menjadi satu-satunya siswa yang diambil rapotnya oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sangat bersemangat kalau mau mengambil rapor. Dan Zahra selalu mendapat ranking di kelasnya. Akhirnya sepulang mengambil rapot langsung tamasya di taman bersama ayah-mamanya. Kala hidupnya masih utuh

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang