“Gimana, udah hubungin dia belum?” tanya Aldi.
Rangga hanya menggelang.
“Leeeh.. kenapa?” giliran Yos bertanya.
“Gue nggak tau gimana mulainya?” jawab Rangga polos.
Aldi dan Yos saling pandang dan lagi-lagi menepuk jidatnya karena ulah Rangga.
“Ternyata cinta itu bukan buta, ya?” tanya Yos.
“Maksud lu?” tanya Rangga mendengar celoteh temannya yang aneh itu.
“Cinta itu bukan membuat kita buta. Tapi cinta itu membuat lu bego.” sahut Yos yang langsung membuatnya tertawa dan disambut oleh Aldi.
“Ya lu yang bego. Lu sih, belum ngerasain.” jawab Rangga pasrah.
“Ya udah, jangan emosi kali. Lu tinggat chat dia kali, Ga.” ucap Aldi yang langsung membuat Rangga memperhatikan dengan sangat serius.
Lebih serius dari ia memperhatikan pelajaran matematika di kelas Pak Sadimin.
“Biasa aja kali kalo liat, serius banget.” goda Yos yang langsung membuyarkan konsentrasi Rangga.
“Tai lu. Lanjutin aja, Di.” Sahut Rangga seperti singa yang siap melahap mangsa.
“Chat aja gini, ‘Hai, Hallo, Malem Zahra, Lagi ngapain? Apa gimana gitu. Kalau nggak gitu langsung aja telepon.”
“Emang boleh langsung telepon?” tanya Rangga sangat polos.
“Siapa juga yang bakal ngelarang, Rangga? Lu ini singa Bunga Bangsa. Lu nggak inget apa, lu pernah nonjok wakil ketos waktu MOS gara-gara lu disuruh push up padahal lu nggak salah. La terus, ngapain lu sekarang takut ndeketin cewek?” ucap Yos sangat heran dengan Rangga.
“Sumpah lu belum pernah deketin cewek?” giliran Aldi heran.
“Iya! Nggak percaya amat sama teman sendiri.”
“Eh, Rangga. Liat deh, di depan perpus noh.”
“Pucuk dicinta, ulam pun tiba.” ucap Yos berbunga-bunga.
“Eh, kok jadi lu yang bahagia gitu, Yos?” sahut Rangga dongkol.
“Ya makannya. Cepet samperin sonoh.” jawab Yos geli melihat temannya yang sensi kepadanya.
Zahra melihat teman-temannya berjejeran di depan kelasnya menunggu orang tuanya yang sedang mengambil rapor.
Mereka kelihatan takut dengan hasil rapornya. Berbeda dengan Zahra yang takut bagaimana mengambil rapornya. Tetapi ia telah memutuskan untuk ke perpustakaan saja hari ini.
Dan lagi, ia sendirian. Rani sengaja tidak ikut orang tuanya mengambil rapor. Pasti temannya itu lebih memilih menikmati harinya dengan menonton drama Korea daripada ikut orang tuanya. Jelas Rani tidak takut dengan hasil rapornya, karena bagaimanapun Rani termasuk siswa rajin di kelasnya jadi sekertaris kelas lagi.
“Pantesan perpustakaan sekolahnya tutup, kan hari ini tidak efektif.” gerutunya pada dirinya sendiri. Dan ia memutuskan untuk duduk di depan perpustakaan sambil menunggu pembagian rapor di kelasnya selesai.
Dengan paksaan dari kedua sahabatnya, Rangga memberanikan diri mendekati Zahra.
“Hai, Ratu.” sapa Rangga sambil senyum dan duduk di sebelah Zahra.
“Maksud kakak, saya?” tanya Zahra sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Emang ada Ratu di sekolah ini selain kamu?” goda Rangga.
“Iya sih. Tapi sebelumnya tidak ada yang panggil saya Ratu.”Kecuali ayah, mama, dan nenek dulu. Batin Zahra.
“Tapi nggak papa kan aku panggil Ratu?”
“Boleh.” Jawab Ratu singkat.
Ia mengalihkan pandangan pada bunga-bunga di depannya. Sesuai dengan namanya. Sekolah ini memiliki banyak sekali taman bunga. Di setiap gedung pasti ada taman dan gazebonya.
“Ratu.” panggil Rangga yang membuyarkan lamunannya.
“Kamu mau nggak aku deketin?”
“Maksud kakak?” tanya Ratu bingung.
Bego, kok gue tanyanya kayak gitu sih. Aneh banget. Tapi kalau bukan gitu gimana lagi tanyanya? Kok kayak terasa kosa kata di ingatanku ilang gini sih? Gue harus apa sekarang? Yos? Aldi? Bantu gue dong. Sekarang gue akuin Yos kalau lu lebih pinter dari gue. Masa gue sebodoh ini. Bunda? Tolongin Rangga dong? Maafin Rangga selama ini nggak penah nurut. Rangga malah bertengkar dengan pikirannya sendiri.
“Kok gue jadi manja gini sih?” ucap Rangga yang baru saja menyadari memanggil nama bundanya seperti anak mama.
“Haa.. Kenapa, Kak?” tanya Ratu semakin bingung. Sedangkan Rangga malah menutup mulutnya dengan tangannya. Seperti orang yang sedang keceplosan.
“Ehem. Jadi gini maksud aku Ratu. Maukah kamu menjadi pacar saya?”
Eh, kok jadi ‘saya’? formal benget? Lagi-lagi Rangga salah ucap di depan Ratu.
Namun, Ratu hanya tersenyum dan tidak menanggapi pertanyaan Rangga.“Ratu, kamu kok diem aja? Tadi aku tanya looh?”
Ratu menarik napas dan menghembuskan perlahan sambil menutup matanya sebentar.“Kenapa kakak ingin saya menjadi pacar kakak?”
“Karena kamu beda.”
“Hanya karena satu hal yang kakak tahu hal yang baik dari saya dan itu langsung membuat kakak tertarik sama saya?” tanya Ratu namun tidak dibalas oleh Rangga.
“Bagaimana jika kakak tahu banyak hal yang buruk di hidup saya? Pasti kakak bakalan jauh lebih tidak suka kepada saya.”
“Apa maksud kamu, Ratu?” tanya Rangga yang tidak paham sama sekali yang dikatakan oleh Ratu.
“Saya tidak sebaik yang kakak kira. Apalagi hidup saya. Jauh lebih buruk daripada kakak.”
“Bagimana kamu bisa membandingkan hidup kamu dengan hidup aku? Memangnya kamu sudah tahu hidupku?”
“RR. Arya Hamizan. Raden Rangga. Sudah jelas dari nama kakak.” ucap Ratu begitu ia melihat ‘nametag’nya.
“Aku masih nggak paham.”
Ratu menghela napas lalu bertanya,“Bukankah RR. merupakan sebutan dari golongan bangsawan. Secara langsung keluarga kakak merupakan ningrat.”
“Terus karena aku keluarga ningrat dan kamu bukan, aku nggak boleh pacaran sama kamu?” tanya Rangga gusar.
“Kakak nggak tahu sih. Kakak itu nggak paham.” jawab Ratu pasrah.
“Kamu satu-satunya cewek yang menolak jadi pacarku, Ratu.” ucap Rangga bingung dengan jawaban dari Ratu.
“Ya karena satu-satunya, berarti masih banyak kan cewek yang mau sama kakak. Kenapa harus maksa saya?” tanya Ratu gusar.
“Ceritain ke aku, semuanya! Semuanya yang membuat kamu ngerasa kalau kita nggak pantes.”
“Yakin kakak akan tetep tertarik sama Ratu setelah kakak tahu semuanya?”
Jawaban di luar dugaan Ratu. Rangga membalas, “InsyaAllah, Ratu.”
“Kakak tunggu saya di gerbang sekolah, saya mau mengambil rapor saya dulu. Lalu kakak ikut ke rumah saya, agar kakak tahu semuanya.” ucap Ratu lalu pergi ke ruang guru untuk menemui Bu Diana.
Entah mengapa Ratu percaya dengan orang baru baru dikenalnya dua hari yang lalu. Bahkan rahasia hidupnya tidak ia ceritakan kepada siapapun, termasuk Rani. Ia selalu mengingat setiap pesan mamanya untuk menceritakan yang baik-baik saja kepada orang lain. Jangan sampai orang lain mengetahui bahkan di keadaan yang rapuh pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Hope) One Day
Teen FictionZahra panggilannya. Seorang gadis yang hidupnya nyaris sempurna tapi hanya bertahan sampai di usianya yang ke enam. Karena beriringan para malaikat kecilnya menghilang. Duka dan derita kerap di alaminya. Motivasi 'one day' yang berhasil menguatkan...