Keesokan harinya, Zahra sedang duduk dengan teman satu-satunya, Rani di pinggir lapangan basket.
Hari ini adalah hari pertama classmeeting di sekolah mereka sehingga siswa masih sangat bersemangat. Apalagi hari pertama merupakan pertandingan basket antarkelas.
Ini adalah salah satu pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu, khususya siswi SMAN Bunga Bangsa. Alasan mereka cukuplah simpel yaitu cuci mata. Hal tersebut diketahui Zahra tentu dari sahabat satu-satunya itu, Rani.
“Ra, yuk pindah ke sebelah sana.” pinta Rani kepada Zahra sambil menunjuk bawah ring basket.
“Ngapain, Ran? Di sini aja, ah.”
“Di sana aja, Ra. Di sana tuh kita bisa kelihatan pemainnya.” jawab Rani memberi alasan.
“Di sini kan juga kelihatan pemainnya kali. Mata kamu tuh minus berapa, sih? Pemain segede gitu nggak kelihatan.”
“Aduh.. Ratu Disya Az-Zahra, kamu bisa nggak bayangin, jika kita duduk di dekat ring sana, terus kita bisa lihat cowok-cowok ganteng dengan jelas saat akan mencetak gol. Belum lagi kalau mereka dengan gantengnya mengusap keringat. Ya ampuuun... aku sampai tidak bisa membayangkan lebih, Ra.”
“Lebaay banget sih, Ran.” ucap Zahra sambil bergidik.
Tapi, Rani tidak menghiraukan ejekan Zahra, pandangannya terfokus ke tengah lapangan basket. Zahra mengikuti arah pandangan Rani. Namun, kembali teralihkan saat tiba-tiba Rani meremas tangannya.
“Awwh... Apaan, sih? Sakit tahu.” jerit Zahra dan segera menjauhkan tangan Rani yang mnggepuk pahanya tidak jelas.
“Zahra, lihat! Lihat!” teriak Rani gemas sambil menunjuk ke arah lapangan basket. Zahra mengikuti arah yang ditunjukkan Rani dengan heran.
“Wooow! Kamu lihat barisan cowok yang sekarang ada di tengah lapangan basket” seru Rani sambil nunjuk ke pemain basket kelas XI IPS 1.
“Ooh.. Yang bertiga di tengah itu maksud kamu?”
“Iya. Gila. Kece abis” ucap Rani dengan semangat sambil geleng-geleng kepala tak percaya.
“Gini ya, Ra. Yang sebelah kiri itu namanya Kak Aldi. Dia idaman gue banget. Sesuai sama kriteria gue. Dia yang paling kalem dan paling rajin di antara mereka bertiga. Terus murah senyum dan kalau masalah ganteng, udah gak usah ditanya lagi. Manisnya itu, minta ampun deh.
Lalu, yang kanan itu namanya Kak Yos. Dari namanya aja, udah keliatan kalau dia anaknya urak an. Dia yang paling heboh, gak bisa biasa, dan lagi tingkat kepedeannya itu tinggi banget. Sumpah deh. Meskipun iya sih, ganteng juga” cerita Rani dengan menggebu-gebu.
“Kok pada heboh banget sih, Ran? Padalah belum aja pada main. Masih pemanasan.”
“Mereka itu RAY FC, Ra.”
“Haa..? Apa lagi itu RAY FC?” pertanyaan Zahra dan langsung membuat Rani nepuk jidatnya.
“Ya ampuun, Ra. Jadi sampai sekarang lu gak tau RAY FC. Kamu sih di sekolah fokus sekolah mulu, istirahat gak pernah nongkrong, dan begitu pulang langsung pulang pula. Jadi kudet kan lu.
Di SMA kita tuh jika seseorang mengidolakan satu dari tiga, atau dua dari tiga, atau tiga-tiganya dari tiga sejoli tuh, dia disebut RAY FC alias Rangga, Aldi, dan Yos Fans Club. RAY FC itu nggak hanya beranggotakan siswi kelas sebelas saja. Kelas sepuluh dan dua belas pun juga bisa disebut RAY FC.”
“Sampai kayak gitu banget ya, Ran?” tanya Zahra heran.
“Ya gimana ya, Ra? Mereka itu emang keren abis. Apalagi kalau sedang senyum. Manis abis. Kecuali satu.”
“Apa?” tanya Zahra yang mulai penasaran.
“Kecuali yang tengah yaitu Kak Rangga. Kak Rangga itu yang paling ‘cool’ di antara mereka bertiga. Tapi saking ‘cool’nya dia terkesan dingin. Dan dinginnya seperti es batu. Bahkan dia seperti tidak pernah tertawa ataupun tersenyum selain dengan dua sobatnya, Aldi dan Yos. Siapapun yang menyentuh dia bisa bonyok, Ra. Kalau istilah Jawa gini, ‘senggol bacok’.
“Mata lu kenapa sipit-sipit gitu, Ra? Lu liat apa sih?” tanya Rani yang bingung melihat Zahra menyipitkan matanya sambil fokus ke satu titik.
“Kok aku kayak nggak asing ya sama yang tengah?” jawab Zahra dengan sedikit ragu.
“Maksud lu Kak Rangga?”
“Iya.”
“Ada hubungan apa? Kayaknya Zahra yang gue kenal ini gak pernah peduli dengan yang jenisnya cowok. Bahkan biarpun gue cerita cogan-cogan di sekolah ini setiap hari, lu gak pernah tertarik. Cowok terkeren seperti mereka aja lu baru tau sekarang setelah gue cerita barusan” tembak Rani dengan tidak percaya.
“Ceritanya itu panjang, Ran. Kalau aku cerita sekarang, kamu nggak jadi nonton pertandingan pasketnya. Mending setelah pertandingan usai aja, ya?” tawar Zahra yang memang tidak nyaman jika harus bercerita di tempat yang ramai.
“Yaah... Lu kan tau sendiri kalau gue gak bisa dibuat penasaran kayak gini, Ra? Pikiran gue juga gak bakalan fokus kalau udah kayak gini.”
Karena sudah tidak tahan lagi, Rani menarik tangan Zahra keluar dari area lapangan basket.
“Apaan sih, Ran?” tanya Zahra yang kaget dengan tindakan Rani.
“Kita ke kantin sekarang dan ceritain ke gue semuanya. Jangan sampai ada yang kelewatan. Okee?”
Zahra yang sudah paham dengan sifat sahabatnya itu hanya bisa tersenyum dan mengikut saja.
“Kita pesen minum dulu, ya?”
“Okee. Lu duduk manis di sini. Gue yang beliin. Lu mau pesen minuman apa?”
Zahra menjawab dengan tawa pelan.“Kok lu malah ketawa si, Ra? Ada yang aneh ya dengan penampilan gue?” tanya Rani kebingungan sambil melihat penampilannya.
“Aku mau jus strawberry.”
“Eh, Serius, Ra? Kenapa tadi ketawa?” tanya Rani penasaran.
“Kamu baik apalagi kalau ada butuhnya” jawab Zahra sambil tersenyum
“Dasar lu, ya. Masih mending ada baiknya” jawab Rani sambil nelonyor ke kantin.
Lima menit kemudian, Rani sudah membawa segelas es jus jambu dan es jus mangga.“Nih, sekarang cepat cerita” ucap Rani yang sudah siap mendengarkan cerita yang menurutnya sangat menarik. Mengingat Zahra belum pernah cerita yang berbau cowok. Apalagi ini menyangkut cowok idola di sekolahnya.
“Sebentar dong. Aku kan haus, Ran. Apalagi butuh energi buat jawab segala pertanyaan yang pastinya kamu beri setelah aku cerita nanti.”
Zahra mulai cerita kejadian yang menyebabkannya bertemu dengan Rangga.Ia bercerita seperlunya dengan nada yang seolah biasa saja. Akan tetapi, Rani sebaliknya. Justru ia sangat antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Hope) One Day
Fiksi RemajaZahra panggilannya. Seorang gadis yang hidupnya nyaris sempurna tapi hanya bertahan sampai di usianya yang ke enam. Karena beriringan para malaikat kecilnya menghilang. Duka dan derita kerap di alaminya. Motivasi 'one day' yang berhasil menguatkan...