Tiga Belas

12 4 0
                                    

Malam ini, Rangga mengajak Ratu makan malam di sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari rumahnya.
Ratu merasa dadanya sangat plong. Ia merasa lega telah menceritakan bebannya kepada Kak Rangga. Begitu berat ia memikul sendiri.

Kak Rangga sudah mendengarkan banyak hal dariku hari ini. Tapi kenapa Kak Rangga belum menceritakan apapun tentang hidupnya.
Apa aku terlalu egois? Asik bercerita, sampai tidak ada waktu bagi Kak Rangga untuk cerita.

“Ratu, mau pesen apa?”
“Ngikut Kak Rangga aja.” jawabnya sambil tersenyum
“Kak Rangga kelihatan kurusan liburan ini. Sesibuk apa kak di keraton?”
“Kita makan dulu yuk, nanti aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”

----------------------------------------------------
Ternyata Rangga mengajak Ratu ke sebuah mall ternama di Surabaya. Tapi, di luar dugaan, Rangga berhenti di rooftop mall.

Dari gedung tinggi ini, mereka dapat melihat keramain kota dan gemerlap lampu di bawahnya. Sedangkan di atas terlihat langit malam yang indah. Namun, hal ini justru membuat Ratu merasa ada yang janggal. Karena momen seperti ini terkesan ‘sepi’.

Begitu duduk di salah satu kursi, Rangga meraih tangan Ratu seolah mencari kekuatan.

“Sesuai namaku, Raden Rangga, aku keturunan ke enam melalui keturunan ayah dari Kerajaan Surakarta.

Mungkin kebanyakan orang mengira hidup di keraton itu sangat damai tentram sentosa. Tapi bagi ayahku tidak. Banyak aturan hukum dan adat yang mengikat.

Ayahku anak kedua dari dua bersaudara. Ayahku memiliki pemikiran sendiri. Ia tidak suka dengan hukum keraton yang mengikat serta statis. Ia suka dengan hal-hal yang baru.

Namun, segala hal yang ayahku sukai dilarang oleh keluarga. Termasuk mencintai gadis biasa, bundaku. Ayahku kenal dengan bundaku karena ia seorang pembatik kepercayaan keraton.

Ayahku menentukan garis hidupnya sendiri. Ia tidak mau dijodohkan dan menginginkan untuk membentuk keluarga sendiri dan keluar dari keraton.

Kepergian ayahku dari keraton membuat pamanku senang. Karena otomatis ia bisa menguasai keraton tanpa campur tangan dari ayahku. Tapi nenek akhirnya merasa iba dengan ayah. Ia memberikan tanah yang luas sebagai gantinya. Dan akhirnya ayahku memboyong bunda keluar dari keraton.

Kami hidup bahagia. Bunda yang pandai membatik dan ayah yang cakap dalam hal bisnis. Semua terasa sempurna.”

Rangga semakin mempererat gennggamannya lalu menghela napas dan melanjutkan ceritanya, ”Seperti yang kamu tahu, roda terus berputar hingga pada saatnya aku dalam posisi di bawah. Ayah kena tipu, hutangnya numpuk dan bisnisnya ludes. Ayah bangkrut dan akhirnya meninggal saat aku kelas enam SD.

Bunda cukup berantakan dan akhirnya nenek mengajak kami kembali tinggal di keraton.
Sejak saat itu semuanya berubah. Bunda nggak lagi perhatian. Ia lebih suka dengan kain dan alat batiknya. Nenek meninggal tidak lama kemudian.

Dan akhirnya, kami merasa terasa terkucilkan.
Tiga tahun aku dan abangku menguatkan diri untuk bertahan di sana. Sampai akhirnya abangku masuk di kedokteran UNAIR. Aku juga nggak bisa berlama-lama di keraton.

Aku memilih ikut abangku di Surabaya untuk melanjutkan SMA di sini. Terpaksa aku meninggalkan bunda sendirian. Tapi sepertinya bunda tidak keberatan. Dia terlihat sangat bahagia karena ada alat membatiknya.”

Ada penekanan di kalimat terakhir Rangga membuat Ratu merasakan apa yang dirasakan cowok di sampingnya. Ratu tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang anak begitu melihat ibu kandungnya memilih berkutik dengan alat batiknya
dan mengabaikan putranya.

“Kami memang tidak kekurangan dalam hal biaya tapi tetap saja keluarga merupakan hal yang kami butuhkan. Hubunganku dengan abangku juga bisa dibilang tidak baik.

Sejak ayahku tumbah karena bisnis, membuat bunda dan abangku membenci dunia bisnis. Karena itu abangku memilih di dunia kedokteran. Sedangkan aku, seperti ada darah bisnis dari ayahku yang terus mengalir di tubuhku sehingga aku memilih jurusan IPS.

Dan saat itu, abangku satu-satunya membenciku. Hal yang paling membuatku sakit adalah ketika orang yang aku sayangi membenciku. Aku hanya berusaha menjadi diriku sendiri. Aku ingin mengikuti pashionku, Ratu.” nama Ratu sebagai kata penutup kisahnya.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang