Delapan

20 5 0
                                    

Seperti biasa, jam 21.00 Ratu sudah akan tidur. Tidak lupa, ia mengatur alarm di Hpnya. Tapi, tiba-tiba ada notif chat masuk dengan nomor yang belum ada di kontaknya.

08xxxxx: Malam, Ratuku 😊

Ratu: Maaf siapa, ya?

08xxxxx: Calon suami, Rangga

Ratu hanya tersenyum lalu menyimpan nomer tersebut.

Kak Rangga: Besok mulai libur semester. Aku mau pamit. Sepuluh hari ke depan aku pulang kampung ke Surakarta.

Ratu: Iya, Kak. Hati-hati ya... Jangan lupa kabarin Ratu kalau sudah sampai.

Kak Rangga: Udah kayak istri beneran harus kabari :D. Btw liburan kamu gimana?

Ratu: Ratu mau ke desa, di rumah nenek, seminggu. Kebetulan di sana masih ada Pakdhe dan Budhe. Ratu kangen kampung halaman rumah lama.

Kak Rangga: Oh, gitu. Jangan lupa kabarin juga kalau udah sampe yaa..

Ratu: Iya, Kak.

Kak Rangga: Lama banget seminggu, emang mau ngapain aja di sana?
Ratu: RAHASIA

(Offline) Ratu segera mematikan data Handphonenya dan tidur dengan lelap. Ia harus segera istirahat karena besok ia akan perjalanan panjang yang melelahkan.

Kok tiba-tiba off sih? Endingnya ‘rahasia’ lagi. Kan aku juga belum ngucapin Good night, batin Rangga kecewa

Rangga keluar kamar menuju kamar abangnya lalu bertanya, “Bang, besok berangkat jam berapa?”

“Jam 6, biar gak macet. Siapin barang-barang lo malem ini. Kalau besok bakal nggak nutut.” ucap Ricky tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

“Iya. Tapi gue jam 5 mau keluar dulu. Ada urusan.” Ucap Rangga lalu menutup pintu kamar abangnya dan berkemas di kamarnya.

-----------------------------------------------------------
“Bed cover, udah. Makanan, cemilan, baju, udah. Okee. Siap berangkat nih.” ujar Ratu pada dirinya sendiri sambil mengecek barang bawaannya.

Zahra sekarang lebih senang memamnggil dirinya ‘Ratu’. Nama yang sejak enam bulan lalu ia hindari. Lagi-lagi karena trauma. Karena panggilan Ratu hanya digunakan oleh orang-orang yang teramat ia cintai dan kini sudah tiada, ayah, mama, dan nenek.

Tapi, kemarin traumanya itu hilang. Tergantikan dengan senyuman yang menginginkan terus dipanggil ‘Ratu’. Khusus oleh Raden Rangga Arya Hamizan, ia dipanggil ‘Ratu’.

Panggilan yang spesial dari Rangga yang ia ingin dengarkan selalu.

Jam lima pagi, Ratu sudah sampai di halte bus. Ia memilih berangkat pagi agar dapat tempat duduk. Jika siang maka ia harus berdiri selama lebih dari empat jam.

-----------------------------------------------------------
“Kok sepi? Apa Ratu sudah  berangkat? Tapi kan masih jam 5?” Rangga bertanya sendiri setelah tiga kali mengetok pintu Ratu dan tidak ada sahutan.

Rangga mengorbankan waktunya untuk mengunjungi ‘Ratu’nya sebelum ia pergi sampi sepuluh hari ke depan. Yang tentunya tidak akan bertemu.

Tapi, tempat yang dituju sudah kosong. Sehingga Rangga memutuskan untuk pulang dan bersiap untuk berangkat. Sebelum abang satu-satunya itu mengomel selama perjalanan.

Sepanjang perjalanan, Ratu tidak tidur sama sekali. Ia asik menikmati pemandangan di luar bus. Setengah perjalanan (Surabaya-Malang) menampakkan aktifitas kota yang padat. Sedangkan setengahnya (Malang-Blitar) tersuguh pemandangan sawah dan pegunungan yang asri.

Sudah sembilan tahun Ratu tidak pernah ke Blitar. Tentunya ketika ia pindah ke Surabaya setelah neneknya meninggal.

Ratu hendak mengirim pesan kepada Rangga sebelum ia memasuki desanya. Karena di sana cukup terbelakang sehingga jarang ada ‘signal’. Ini menjadi salah satu tantangan bagi Ratu karena artinya seminggu ini akan jarang berhubungan dengan Rangga.

Ratu: Kak, Ratu sudah hampir sampai. Tp di sini jarang atau bahkan tidak ada ‘signal’.

Kak Ragga: Yaah... masa gak ada sedikit pun?

Ratu:  Adanya di pasarnya, Kak. Dan jaraknya sekitar 3 kilo dari rumah.

Kak Rangga: Seminggu nggak bisa ketemu aja sedikit berat apalagi jika seminggu nggak bisa denger suara Ratu?

Ratu: Ratu usahain tiga hari sekali ke Pasar deh kak. Soalnya di sini juga nggak ada ojek online.

Kak Rangga: Jangan deh, biar nanti aja kalau kamu udah balik rumah kabarin aku. Jangan ke pasar. Apalagi sendiri.

Ratu tersenyum melihat balasan perhatian dari Rangga. Ratu hendak membalas pesannya tapi tiba-tiba signalnya sudah x.

Jalan sudah mulai liku-liku dan bergeronjal yang artinya Ratu hampir sampai. Ia segera menyiapkan barag bawaanya dan segera turun jika telah sampai. Apalagi pakdhe sudah nunggu di halte. Ratu tidak mau membuat pakdhenya menunggu terlalu lama.

Ratu sudah membuat agenda, begitu ia sampai ia akan meletakkan barang di rumah nenek, rumah yang akan ia tempati selama seminggu ke depan.

Setelah itu, ia mengunjungi rumah budhe yang hanya berjarak dua belas meter. Lalu, bersih-bersih rumah, istirahat, dan sorenya ia ingin jalan-jalan ke sekitar rumah. Dan mengunjungi tempat favoritnya, sungai yang ia sebut sebagai taman surga ketika masa kecilnya.

Budhe terlihat lebih tua, ada keriput di dahi dan bawah matanya. Mungkin karena Ratu bertemu sudah tiga tahun yang lalu. Budhe tetap baik kepada Ratu walau adiknya, mama, sudah tiada. Budhe juga minta karena saat mama meninggal tidak bisa melayat. Ia bilang karena mertuanya, alias ibunya pakdhe meninggal sehari setelah mama.

Ratu membuka kunci rumah nenek yang baru saja diberi oleh budhe. Sejenak ia memandangi rumah nenek yang dulu menjadi tempat tinggalnya bersama ayah dan mamanya selama enam tahun.

Catnya tetap, tatanan rumahnya juga tidak berubah. Hanya saja kosong. Tidak ada barang-barang kecuali peralatan dapur dan hiasan rumah. Bahkan almari nenek sudah kosong karena langsung disumbangkan oleh budhe ke panti jompo begitu nenek meninggal.

Meski tidak ditempati siapapun, rumah nenek tetap kelihatan terawat. Budhe masih tetap baik, ia meluangkan waktunya untuk membersihkan rumah nenek tiap dua minggu sekali.
Tadi Ratu sempat bertanya ke budhe,

“Kenapa rumah nenek dibiarkan kosong. Kenapa tidak disewakan saja.”

Budhe hanya menjawab, “Wasiat nenek”.

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang