Delapan Belas

16 3 0
                                    

Suasana istirahat pertama di masjid seperti biasanya. Sepi. Hanya saat ada RAY FC saya masjidnya ramai. Dan hari ini, sepinya seperti dua kali lipat.

Karena di kantin pula tidak ada yang dicari Ratu, Kak Rangga. Dia tiba-tiba ngilang begitu aja. Nggak ada kabar. Bahkan dua sejolinya ketika berpapasan dengan ratu hanya diam saja. Seperti tidak ada kabar yang perlu disampaikan kepada Ratu.

Yos yang memang dari dasarnya tidak bisa diam merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini.
“Ada apa sih ini?”

Aldi juga merasa tidak enak jika menyembunyikan rahasia dari Yos lalu menceritakan, “Tadi malam Rangga ke kos gue. Tapi baru kali ini gue lihat dia sekacau ini. Terus gue ajak sekolah hari ini gak mau, katanya moodnya lagi buruk.”

“Terus apa hubungannya dengan tatapan lu ke Ratu?” tanya Yos penasaran.

“Gue baru tahu alesannya katika tadi pagi di depan gerbang Ratu dianterin cowok lain pake mobil.”

“Masa sih Ratu setega itu?”

“Mana gue tau. Orang kenyataannya kaya gitu.”

“Gue gak nyangka. Cewek yang keliatannya polos gitu ternyata bulus.”

“Sabar, Yos.”

“Ya gue gak terima sobat gue sendiri digituin sama cewek kayak begituan.”
Di meja lain, Ratu alias Zahra sedang bercerita kepada Rani tentang ketidakadaan kabar dari Rangga dan hari ini tidak masuk sekolah.

------------------------------------------------------
“Sakit kali, Ra.”

“Nggak mungkin, Ran. Kemarin aja pas pulang sekolah aku dianter Kak Rangganya baik-baik aja kok.”

“Apa ada masalah lain ya?”

“Apa mungkin hubungannya dengan kakaknya belum membaik? Atau terjadi sesuatu dengan ibunya sehingga ia harus ke Surakarta mendadak?” tanya Ratu khawatir.

“Bisa jadi sih, Ra.”

Alhasil sampai bel pulang pun tidak ada kabar dari Rangga dan Ratu memutuskan naik angkutan umum, seperti hari-hari sebelumnya, sebelum ia mengenal Kak Rangga.

---------------------------------------------------
Aldi langsung pulang ke kosnya dengan membawa dua bungkus nasi buat Rangga. Setelah dicari di dalam kosannya, ternyata tidak ada. Namun ada tulisan berwarna merah di lantai depan TV.

“Makasih ya, Bro.”

Dan spidol yang dipakai adalah permanen. Temen kentut emang.

“Eh, lumayan juga makan dua bungkus.” hibur Aldi sendiri.

---------------------------------------------------
Keesokan harinya, Rangga mulai sanggup pergi ke sekolah. Namun, hanya sebatas sanggup. Karena seperti hanya separuh jiwanya di sekolah. selebihnya, ia hanya mengikuti langkah-langkah sobatnya hilir mudik halaman sekolah.

Tanpa ia tahu kemana. Yang penting ia tidak sendirian. Sedangkan Aldi seperti biasa, ramah kepada semua siswa dan Yos dengan kepedan dan kealayannya. Tetap ada yang janggal karena anggota yang satunya tatapannya tidak sedingin biasanya melainkan kosong.

Desas-desus ini menyebar seperti kilat hingga terdengar di telinga Ratu dan Rani.

Begitu Ratu dan Rani berpapasan dengan ketiganya, Ratu tidak bisa terus melangkahkan kakinya melanjtukan perjalannya ke kantin, ia berhenti teapt di depan Rangga.

“Kak, kenapa?”
Bahkan untuk menatap pun Rangga tak sanggup. Seolah gadis di depannya ini adalah ratu beneran yang mana mungkin bisa didekati oleh manusia biasa seperti Rangga.

Yos yang mengerti dengan kondisi seperti ini lalu mengambil alih pembicaraan namun tergantikan dengan kalimat lain ketika mengingat apa yang dilihat oleh Aldi.

“Lu nggak tau, Rat? Yakin nggak tau? Apa Cuma pura-pura nggak tau? Emang muka berbanding terbalik dengan ati.”

Hanya Yos yang bisa bersuara saat itu. Karena ia emang yang biasa njeplak. Apa yang ada di otaknya langsung ia sampaikan dengan mulut tanpa disaring terlebih dahulu.

Lalu ketiganya melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan Ratu dan Rani yang mematung akibat perkataan Yos.

Ratu paham jika Kak Yos adalah manusia dengan mulut yag suka menceplos. Ceplosan yang selama ini ia tahu adalah ceplosan yang lucu, aneh, dan konyol.

Tapi, entah mengapa rentetan yang keluar dari mulut Kak Yos tadi terasa menusuk hingga ke hati Ratu yang terdalam.

“Perih, Ran.” ucap Ratu lirih lalu butiran air bening itu keluar dari ujung matanya.

“Sabar ya, Rat. Yuk, kita ke kelas aja.”
Hari-hati berikutnya tidak berubah, Kak Rangga yang Ratu kenal dulu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sekarang. Tidak ada ucapan selamat malam lagi. Tidak ada yang memboncengnya ke sekolah dan mengantarkan ke rumah.

Bahkan menatapnya pun Kak Rangga anti. Ketika berpapasan, langsung mengalihkan pandangan.

Kenapa Kak Rangga hadir di hidupnya dan membuatku semakin optimis jika hanya untuk beberapa waktu? Kenapa? Kenapa? tangis Ratu dalam kesendirian di dalam rumahnya.

Lagi-lagi Ratu kehilangan orang yang ia sayangi. Setelah nenek, mama, ayah, Afifah, dan sekarang Kak Rangga.

Lalu siapa lagi setelah ini?

(Hope) One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang