18

2.7K 569 92
                                    

Hari ketiga Kyungsoo enggak ada, rencananya gue mau nemenin Wonho jalan. Gue sempat mengirimi suami gue pesan, tadinya mau izin. Tapi, baru aja basa-basi bahkan belum pada intinya, dia sama sekali menghiraukan pesan gue.

Malahan cuma di-read doang.

Sekarang gue sangat paham. Zaman emang udah canggih, semuanya serba online. Gojek online, belanja online, dia yang online tapi enggak bales chat juga ada. Karena dongkol, ya udah gue kabur aja dan jalan tanpa izin suami. 
















👀

Kali ini, gue sedang ada di cafe, nungguin Wonho pesan makan. Tadi kami habis nonton dan jalan-jalan kayak biasa. Yah, walaupun gue jadi canggung dan enggak sebebas sebelum nikah. Entah kenapa banyak perasaan bersalah yang terus menyelimuti gue.

Pertama, pada Kyungsoo. Jelas banget gue merasa bersalah karena jalan sama Wonho tanpa bilang dulu sama dia.

Kedua, pada Wonho. Ini apalagi ... soalnya selama jalan-jalan, gue selalu ngomongin Kyungsoo bahkan untuk hal yang enggak penting. Seperti,

“Padahal rencananya aku mau nonton film ini bareng Kyungsoo.”

“Eh, kalau aku beliin baju ini buat dia gimana, ya?”

“Kamu tahu, enggak? Kyungsoo tuh maniak warna hitam!”

“Aku kalau ngobrol sama dia berasa monolog ...”

Sampai gue sadar, dia jadi banyak diamnya. Dan itu karena ulah gue sendiri. Akhirnya setelah dia balik lagi bawa makanan, gue secara spontan minta maaf.

“Maaf ya, kamu pasti enggak nyaman karena aku malah ngomongin cowok lain,” ujar gue merasa bersalah. Anehnya, Wonho malah makin senyum kecut.

“Enggak apa-apa, kan dia suami kamu. Lagian, yang “Cowok Lain” itu aku, bukan Kyungsoo,” sahutnya membuat gue makin enggak enak. “Ayo, makan dulu.”

	Sambil sekali-kali gue makan, ternyata diam-diam Wonho memperhatikan gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sambil sekali-kali gue makan, ternyata diam-diam Wonho memperhatikan gue. Jujur, itu enggak nyaman banget, tapi gue enggak berani juga natap dia. Nanti pasti jadinya awkward dan canggung, kayak orang baru ketemu aja.

“Kayaknya ... aku nyerah aja deh,” ucap dia membuat gue langsung mendongak. “buat dapetin kamu.”

Ahh, ternyata bener. Dia masih suka sama gue ... padahal gue kira dia bakalan move on.

“Melihat kedekatan kalian, udah cukup nampar aku bahwa ini semua nyata. Kamu udah milik seseorang, dan aku sangat enggak berhak untuk suka sama kamu.”

“Sebenarnya unik, sih. Aku suka sama kamu karena orangnya enggak seperti perempuan lain yang pernah deket sama aku. Misalnya, saat aku bawa kamu ke tukang nasi goreng, kamu malah nawarin tempat yang lebih enak.”

“Sesederhana itu sampai makin hari, aku tahu kalau kamu memang perempuan yang harus segera didapatkan sebelum orang lain mendapatkannya.”

“Dan sayangnya ... aku kalah cepat.”

Tiba-tiba gue berpikir dan melayangkan diri ke masa-masa sebelum nikah. Di saat gue benar-benar menolak perjodohan dan menciptakan kenangan yang menyenangkan bersama Wonho sebelum mimpi buruk –perjodohan- gue tiba.

Wonho, kamu adalah waktu istirahat yang sangat berarti ...

Kebahagiaan merangkap rasa sakit itu ... tidak bisa dideskripsikan oleh kata-kata saat orang yang gue suka juga menyukai gue. Walau itu semua melebur ke angkasa, di mana kenyataan benar-benar menghempaskan gue ke keadaan yang sebenarnya. Bahwa gue harus melepaskan orang yang gue suka dan menerima orang lain.

Walau selalu ada setitik harapan dalam hati gue, bahwa Wonho mungkin akan menemani hari-hari gue sampai tua nanti. Tapi itu hanya sebuah harapan semu, karena Kyungsoo sudah jelas-jelas menggantikan posisinya.

Lambat laun semua berubah. Hari-hari kebahagiaan yang gue rasakan bersama Wonho, tergantikan oleh sosok Kyungsoo si kaku yang hobby-nya gombalin gue. Walau bermodal alasan ini-itu, yang membuat gue mau enggak mau juga berusaha untuk menjadi istrinya.

Do Kyungsoo. Si lelaki yang membebaskan gue melakukan apapun bahkan termasuk jalan dengan lelaki lain, namun dalam satu tarikkan bisa membuat gue jatuh ke pelukannya.

Semua yang dia ucapkan, dia lakukan, dia ekspresikan menjadi candu bagi gue. Terlalu manis untuk dilupakan, terlalu sayang jika diabaikan, dan terlalu sering datang jika dihiraukan.

Kini, Wonho menjadi beda di mata gue. Dia orang lain, dia hanya teman, dan hanya seseorang yang pernah mengajarkan kebahagiaan sebelum gue menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Walau gue belum bisa mengatakan dengan jelas bahwa gue cinta sama Kyungsoo, setidaknya kenyamanan gue padanya tidak sebanding dengan kenyamanan gue pada Wonho. Rasa dan sensasi keduanya terlalu berbeda.

Dan yang bisa gue katakan saat ini hanya, “Maaf.”

Semuanya berubah, walau dalam kurun waktu yang sebentar.

Kami berdua terdiam, menikmati keheningan di antara bau-bau kopi yang mencoba meredakan rasa sesak di dada.

Maaf, Wonho ...















👀

Gue melepaskan tas di pundak dengan asal di lantai. Baru jam 8 malam, tapi rasanya gue benar-benar capek. Setelah sempat menyeduh cokelat panas, gue ke balkon kamar dan menikmati pemandangan komplek yang cukup sepi. Paling beberapa langkah dari rumah gue ada sekumpulan anak cowok yang lagi nongkrong dan heboh sendiri.

Enggak lama, Jooheon juga keluar dari kamarnya dan ketawa kaku pas lihat gue ternyata juga lagi di balkon.

“Galau, Mbak?” tanya dia bikin gue terkekeh seadanya. “Mukanya kusut gitu.”

“Masa galau?” tanya gue balik dan Jooheon hanya bertompang dagu di pagar balkon kamarnya.

Dia bilang, “Yeee, mau muda atau tua enggak masalah. Tapi, kalau Mbak kayaknya enggak usah galau deh. Hidupnya udah kayak yang bahagia ini, hehe ...”

Bahagia, ya?

“Tadi habis ketemu sama Wonho, nih. Dia sempat ngelantur,” ujar gue berbelit. Tapi gue yakin, Jooheon pasti paham maksudnya. Malahan respons dia cuma terkekeh dan melihat jalanan yang sepi juga.

“Dia suka banget sama Mbak. Sering curhatnya sama saya, tapi, kayaknya dia tahu diri. Masa iya suka sama istri orang. Yah, walaupun kalian kenalnya pas Mbak belum nikah, sih,” sahutnya sambil merapatkan jaket. Omong-omong, dingin juga udaranya dan gue lupa enggak pakai baju tebal. Ah, dibanding itu, Jooheon melanjutkan kalimatnya, “tapi bang Wonho pasti bisa cepat bangkit. Enggak usah dipikirkan Mbak, takutnya malah tambah panjang. Nanti saya bantu.”

“Terima kasih, ya. Kamu baik banget.”

“Soalnya saya minta imbalan, nanti kasih nilai bagus ya ke Professor, hehe ...” Gue cuma menggelengkan kepala sambil ketawa. Jooheon paling bisa bikin gue –setidaknya- cukup tenang. Karena dia mau bantu gue secara enggak langsung agar Wonho melupakan gue dan mencari cewek lain.

“Santai aja, kaku banget ngomongnya,” ujar gue sambil bersiap masuk. “Duluan ya, Joo. Selamat malam.”

“Iya, Mbak!”

Pas gue simpen mug dan merebah, gue cek handphone dulu. Barangkali Kyungsoo balas pesan gue. Tapi, yang bisa gue lakuin cuma senyum kecut. Hasilnya, nihil.

Prof. AstigmatismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang