Di sela-sela adu mulut enggak berguna yang terjadi antara IU dan Chen di jok depan, gue cuma bisa memandang gelisah awan di luar mobil. Mendung, entah mau hujan atau enggak. Persis suasana hati gue yang enggak jelas.
Daritadi gue udah mencoba menghubungi Kyungsoo, tapi semuanya enggak dia respons. Otak gue berputar dengan satu pertanyaan, apakah Kyungsoo di sana? Di apartemen yang tertera di surat terakhir itu?
Sejujurnya logika gue mengatakan untuk tidak datang, tapi hati gue enggak bisa berbohong.
Gue percaya sama Kyungsoo, apapun yang akan terjadi nanti. Entah apa yang akan ditunjukkan di sana, tapi gue harus percaya sama Kyungsoo.
DDRRTT!!!
Gue buru-buru melihat handphone, tapi bukan Kyungsoo yang menelpon. Walau kecewa, gue angkat telpon dari kak Irene itu.
“Halo, kak?”
“Mia? Kamu kenapa? Kok buru-buru gitu? Terus tadi kakak lihat kamu dianter sama dua mahasiswa, kamu baik-baik aja, kan?” tanya dia dengan khawatir. Gue cuma mengatakan kalau kondisi gue baik-baik aja. Enggak lupa nanya kenapa dia bisa tahu gue ada di kampus. “Kakak tadi habis dari kampus, niatnya mau ketemu Kyungsoo.”
“Aku enggak apa-apa kok, kak. Maaf ya kak, aku tutup dulu.” Tanpa mendengar kak Irene ngomong lagi, gue langsung tutup telpon saking gelisahnya. Sekali lagi, gue coba hubungin Kyungsoo. Tapi hasilnya tetap sama, dia enggak merespons.
Setelah itu, Chen menghentikan mobilnya dan bilang kalau apartemen paling deket dari kampus hanya gedung dengan nama, “White Sugar” di depan gue sekarang. Setelah berterimakasih dengan buru-buru, gue langsung masuk dan mengedarkan pandangan.
Di mana? Nomor 25 di mana?!
Gue berlari mencari-cari tempat yang dimaksud, bahkan sampai beberapa nubruk orang saking paniknya. Gue takut, kalau ternyata Kyungsoo benar-benar ada di sini.
Sepanjang jalan, gue terus menggumamkan nomor kamar sampai akhirnya gue melihatnya. Pintunya terbuka, entah sengaja atau enggak. Napas gue naik-turun karena terus lari, tapi perlahan rasanya semakin sesak. Karena ...
“Saya hanya mau professor tanggung jawab! Saya enggak mau anak ini lahir tanpa ayah!”
... gue mendengar suara Inha lengkap dengan seruannya.
“Kalian bisa pergi.” Suara lembut seseorang membuat gue menoleh ke sisi kanan dengan pelan. Ada kak Irene di sana, serta Chen dan IU yang menatap gue bingung. Setelah berterimakasih karena sudah bantu nyariin gue, kak Irene hanya diam.
Wajahnya udah enggak bisa gue tebak, mungkin, dia bingung harus memberikan respons apa saat melihat tatapan gue yang kosong. Perlahan tangannya merangkul pundak gue, dan tangannya yang satu lagi membuka pintu apartemen itu.
Lalu terpampanglah Inha dan Kyungsoo yang sedang berdiri berhadapan. Sebelum masuk, gue sempat mendengar Kyungsoo memanggil nama gue dengan kaget.
“Apa yang harus dipertanggungjawabkan?” tanya gue parau. “Apa?”
Inha memalingkan wajahnya yang sendu, tapi setelahnya dia membalas tatapan gue dengan tegas.
“Saya hamil ... anak Professor-"
“Bohong!” seru Kyungsoo sambil menarik gue untuk mendekat ke arahnya. Gue enggak bisa mengalihkan tatapan ke yang lain selain Inha. Tubuh gue makin lemas rasanya saat dia mengucapkan kalimat itu.
Gue kaget. Gue terpaku. Suasana rasanya hening, telinga gue tertutup rapat pada semua ocehan Kyungsoo yang menyuruh gue untuk enggak percaya. Atau pada suara kak Irene yang sibuk menyuruh Kyungsoo tenang dan tidak terkesan memaksakan penjelasannya pada gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prof. Astigmatism
FanfictionJatuh cinta ... Bisa berawal cuma dari bertatapan. Miliknya, sangat menusuk tapi membuat penasaran. Siapa sangka? Professor muda dengan tatapan tajam itu akan menjadi suami dari seorang cewek yang jomblo dari lahir? Jadi, mari kita belajar mencint...