Gue ke luar tanpa bilang dulu sama Wonho, dia lagi di ruang kerjanya dan gue enggak mau ganggu. Demi gue, dia rela mengerjakan pekerjaannya di rumah. Tapi bukan berarti gue ada di bawah kekangannya juga.
Pokoknya masa bodoh lah, gue mau pergi tanpa dia aja.
Inha cuma mengirimi gue alamat cafe, enggak jauh dari rumah Wonho. Maka dari itu gue memutuskan untuk jalan kaki. Tapi enggak sesuai harapan, Inha enggak di dalam cafe melainkan di seberangnya.
Serius, dia ngajak ketemu dan ngobrol di pinggir jalan? Kurang waras.
Inha sibuk menundukkan pandangannya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam jaket. Pas gue nyamperin, dia langsung mendongak dan menatap datar. Gue sedikit kaget pas lihat mukanya, ada beberapa luka dan lebam yang kentara.
“Kenapa lo lihat wajah gue gitu banget?” tanya dia dingin, bikin gue langsung memperhatikan tubuhnya dan mengalihkan pandangan.
Gue bilang, “Gue mikir, bagian mananya tubuh lo yang buat suami gue mau bikin bunting anak orang.”
“Cih.”
Inha menyandarkan pundaknya di tembok di pinggir jalan dan menatap gue dengan wajah yang enggak bisa gue tebak. Dan dia menjelaskan secara singkat kalau luka di wajahnya akibat pukulan ayahnya yang gelap mata pas tahu dia hamil.
Gue kaget, demi apapun gue enggak nyangka kalau luka itu karena orang tuanya sendiri. Tapi sejurus kemudian gue ngerti, lagipula orang tua mana yang enggak sakit hati saat anaknya ‘celaka’? Dididik, disekolahkan dengan tinggi, dirawat dengan baik, tapi balasan anaknya malah mengecewakan. Gue sempat melihat matanya yang berkaca-kaca, tapi dia buru-buru merubah tatapannya tajam. Mungkin ... supaya enggak terlihat lemah.
“Lo bisa menceraikan Prof. Kyungsoo?” tanya dia bikin gue rasanya mau jambak rambut Inha sekarang juga. “Gue butuh ayah buat anak ini. Dia harus bertanggung jawab, kan?”
Andai lo tahu kalau gue juga lagi ngandung anak Kyungsoo. Dan anak gue lebih berhak mendapatkan sosok ayah.
“Lo gila, Inha. Lo benar-benar cewek enggak tahu diri yang udah merebut kebahagiaan orang lain,” desis gue sambil mendorong pelan bahunya. “kenapa lo tega menghancurkan rumah tangga gue, huh?”
“Lo pikir gue mau?” tanya Inha balik sambil menahan gerakkan tangan gue dan balik mendorong bahu gue. “Gue capek dimarahin orang tua. Seenggaknya gue enggak bilang sama orang-orang kalau Prof. Kyungsoo yang hamilin gue! Sampai gue harus menerima risikonya dengan keluar dari rumah. Semua duit gue diambil sama bokap. Lo enggak ngerasain apa yang gue rasakan!”
Emosi gue memuncak, kami berdua hamil dan jadi sangat sensitif bahkan untuk hal yang enggak penting. Gue terus menyudutkan Inha dan dia balik mengutarakan penatnya kepala dia soal kandungannya.
Sampai adu mulut kami membuahkan perhatian dari orang-orang lewat. Kami nyaris bertengkar kalau aja Dahyun enggak datang dan memisahkan kami dengan sedikit kewalahan. Saat itu juga gue ditarik sama seseorang supaya kami berhenti bertengkar.
“Ceraikan Prof. Kyungsoo!” serunya untuk yang terakhir kali.
“Semuanya salah lo, Inha! Lo enggak bisa nyalahin gue, justru karena ulah lo, gue kena cipratannya! Lo bilang gue enggak merasakan apa yang lo rasakan?! Andai lo juga ada di posisi gue!-"
“Udah, Mia. Kita pulang sekarang,” ujar seseorang yang memegang tangan gue, Wonho. Gue ditarik ke mobilnya, meninggalkan Inha sama Dahyun yang menjadi sorotan di pinggir jalan.
Gue menangis di samping Wonho, penjelasan Inha tadi benar-benar menyakiti hati gue. Dia berujar seakan-akan hanya dia wanita paling sakit hati di masalah ini. Harusnya dia nyadar, gue paling terpukul sama tingkah keterlaluan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prof. Astigmatism
FanfictionJatuh cinta ... Bisa berawal cuma dari bertatapan. Miliknya, sangat menusuk tapi membuat penasaran. Siapa sangka? Professor muda dengan tatapan tajam itu akan menjadi suami dari seorang cewek yang jomblo dari lahir? Jadi, mari kita belajar mencint...