44

2.3K 524 51
                                    

Dengan tampang bangun tidur, gue duduk di meja makan sambil memperhatikan punggung Kyungsoo yang lagi masak. Demi apapun, kaki gue sampai enggak bisa diam saking enggak sabar buat mencoba masakannya. Sesekali, Kyungsoo melihat ke gue. Dan di saat gini, munafik akan menjadi teman gue.

"Makan," ujar Kyungsoo sambil menyondorkan piring gue yang udah penuh sama masakannya. Dengan wajah yang ditekuk, gue mulai memakan itu.

Surga~!

Gue sempat mendengar dia menahan tawa, seketika gue sadar kalau bibir gue sempat ketarik buat senyum. Ya tuhan, andai gue bisa menghilang sekarang juga, bakal gue lakukan itu sekarang.

"Enak?" tanya dia yang gue abaikan. "Makan yang banyak, biar bayinya sehat."

"Enggak usah perhatian sama anak saya dan Wonho," celetuk gue membuat suasana hening seketika. Gue melihat sekilas wajahnya yang menunjukkan raut kecewa, dan di saat yang tepat seseorang memencet bel.

Kyungsoo keluar, dan gue bisa mendengar Wonho mengobrol dengannya. Belum sempat adu mulut, gue memberi interuksi kalau Wonho sengaja gue hubungi. Gue males banget buat berangkat bareng sama Kyungsoo ke rumah sakit.

Setelah sempat berdebat, gue langsung berangkat tanpa menghabiskan makanan. Sayang banget rasanya karena selain perut gue masih lapar, rasanya enak banget. Tapi, gengsi lah. Masa udah ke luar balik lagi dan ngabisin makanannya?

Gue minta maaf sama Wonho karena ganggu waktu pagi dia, tapi entah kenapa dia merasa enggak keberatan dengan itu. Katanya, dia bakal usahakan selalu ada buat gue. Dan tatapan dia saat ngomong gitu, membuat gue nyaman banget.

Apa Wonho masih suka sama gue? Ah, enggak mungkin.

Setelah berhenti di parkiran rumah sakit, Wonho pegang tangan gue dan senyum. Dia bilang, "Kamu pasti bisa menghadapi masalah ini. Aku bakal bantu sebisanya."

"Terima kasih, Wonho. Cuma kamu yang ngerti sama keadaan aku sekarang." Sebelum ke luar, Wonho meneduhkan pandangannya dan seakan ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia malah senyum lagi dan melepaskan tangan gue.

"Omong-omong ... yang Kyungsoo hamili itu perempuan yang kemarin nangis di rumah Dahyun?" tanya Wonho sambil bersiap. Gue mengangguk dan menjelaskan kalau gue merasa dia menyembunyikan sesuatu.

Wonho enggak menyahut sama sekali, dia menyimak dengan baik sampai sebuah ketukan memecah pembicaraan kami. Kyungsoo pelakunya, gue enggak tahu kalau dia ikut nyusul ke rumah sakit.

Kyungsoo memberi kode buat keluar dari mobil, dan setelah itu gue harus memasang topeng seakan enggak ada masalah dengan Kyungsoo. Karena kalau enggak gitu, masalah ini bakal ketahuan sama keluarga gue.















👀

Udah siang, Mark udah nemenin gue jagain mamah. Gue pamit sebentar buat nyari makanan, tapi baru aja sampai luar gedung rumah sakit, Baekhyun mencegat gue. Dia minta waktu buat ngobrol, akhirnya kami duduk di minimarket terdekat.

Lagi-lagi, Baekhyun mengutarakan apa yang dia pikirkan. Kyungsoo enggak mungkin jahatin gue dengan cara menghamili Inha. Baekhyun pikir, mungkin ini cuma akal-akalan Inha supaya rumah tangga gue hancur.

Dia bahkan nasihatin gue supaya tetap menjaga kepercayaan ini sama Kyungsoo, sayangnya gue enggak bisa.

"Mia, lo kenapa sih enggak percaya sama Kyungsoo? Dia sama sekali enggak melakukan apa yang si Inha omongin. Gue tahu dan gue yakin. Dia udah jelasin sama gue kalau dia cuma dateng ke hotel itu karena Inha yang memintanya." Gue ketawa sinis, rasanya enggak masuk akal.

"Mahasiswa nyuruh dosennya datang ke hotel, dan dia nurut? Waw ..." ujar gue membuat Baekhyun diam. Jari-jarinya dia mainkan, seakan mikir. Satu kecurigaan muncul, kenapa Baekhyun seperti tahu sesuatu? "Kenapa lo?"

Baekhyun menggeleng. Di saat itu juga, gue menghela napas dan memandang jalanan. Enggak mau terlalu ambil pusing, karena rasanya melelahkan apalagi gue lagi hamil.

"Baek, lo nanya kenapa gue enggak percaya sama Kyungsoo, kan?" tanya gue tanpa menatapnya. Baekhyun menggumam sebagai sahutan, dan gue kembali membuka suara. "Karena rasanya percuma kalau gue percaya, tapi di belakangnya gue tetap bakal mencaritahu yang sebenarnya."

"Buat percaya tuh susah, Baek. Gue enggak mau sok-sok percaya, tapi tetap bakal mencaritahu apa yang menjadi kecurigaan gue. Sama aja membohongi perasaan diri sendiri dan orang yang gue percayai itu. Jadinya munafik."

Baekhyun mengangguk, dia bilang, "Lo bener. Jadi lo mungkin enggak semudah yang gue bayangkan."

Setelah diam cukup lama, gue berdiri dan memilih buat pergi. Udah belanja seadanya buat makan. Tapi belum sempat pegang pintu, Baekhyun menahan tangan gue.

"Lo tahu enggak, kenapa muka si Inha bisa babak belur gitu kemarin?" tanya dia dan gue jawab seadanya kalau itu karena Inha ngasih tahu ke keluarganya soal kandungannya. "Oh, bukan karena masalah lain?"

Mendengar itu, dahi gue mengerut otomatis.

"Enggak, gue cuma nanya doang-- eh? Itu apaan?" tanya Baekhyun bikin fokus gue beralih. Ada foto di balik case handphone gue, foto Kyungsoo sama kak Irene pas di kampus. Sengaja gue bawa, soalnya tadi hampir ketahuan sama Kyungsoo di rumah.

Gue langsung mengeluarkannya dan menanyakan soal foto itu sama Baekhyun. Dia menggeleng, enggak mau jawab. Tepat saat itu, kak Irene datang dan menyapa kami berdua. Foto itu belum sempat gue masukkin, dan wajah dia langsung menegang.

"Kamu ... dapet darimana foto itu?" tanya dia.

"Enggak penting. Kak, kenapa sih kok enggak cerita?" tanya gue dan dia cuma menggeleng. "Kenapa sih enggak pada mau ngomong? Kakak pernah ada hubungan sama Kyungsoo?"

Kak Irene melengos sambil jawab, "Hubungan yang enggak penting. Udah, jangan diungkit lagi."

Tapi gue penasaran!!!

Terserahlah, mau kalian ada hubungan khusus di masa lalu juga gue enggak peduli! Toh, gue enggak secinta itu sama dia sampai harus kepoin masa lalunya!

Gue ke rumah sakit lagi dengan emosi yang enggak sebaik sebelumnya, sampai belokkan hampir sampai ke ruangan mamah, gue melihat Inha sama ibunya. Cewek itu lagi ngomelin mantan majikkan gue yang sibuk bersandar di dinding.

Inha menyadari keberadaan gue, dia langsung tarik ibunya buat pergi dari rumah sakit. Yang gue denger pas mereka melewati gue cuma, "Udah dibilangin enggak nurut banget, sih."

Mata kami sempat bertubrukkan, dan Inha melemparkan tatapan benci sama gue.

"Semuanya gara-gara lo."

"Apa, sih?" gumam gue sambil berbalik buat melihat keduanya. Saat itu, gue menemukan beberapa luka di wajah ibunya pas beliau sempat menoleh. Persis kayak Inha. Dan entah kenapa gue malah inget sama pertanyaan Baekhyun tadi.

"Lo tahu enggak, kenapa muka si Inha bisa babak belur gitu kemarin?"

"Oh, bukan karena masalah lain?"

Kalaupun iya, toh bukan urusan gue.


.
.
.
.
.



Tapi ... kenapa tadi Inha nyalahin gue?

Prof. AstigmatismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang