46

2.1K 530 103
                                    

Besoknya, gue ke rumah sakit dan mendapati mamah sadar. Gue enggak tahu, apa mungkin kebohongan gue sangat memukul perasaannya sampai bisa enggak sadarkan diri selama dua hari. Langsung aja, gue dipanggil beliau dan meminta waktu berdua di dalam ruangan.

Setelah dicek keadaannya, mamah melemparkan tatapan sendu dan kecewa sama gue. Belum sempat bertanya lebih jauh, gue menjelaskan keadaan yang sebenarnya dengan terpaksa.

Hotel, kehamilan Inha, dan kehamilan gue. Sejujur-jujurnya sampai gue nangis dan terus meminta maaf karena melakukan kebohongan fatal di depan beliau. Mamah gue enggak marah, dia cuma nangis dan mengelus tangan gue.

   Gue menyesal ya tuhan, sangat menyesal ...

“Mah, aku melakukan semuanya karena aku yakin Inha bohong. Aku ... mau kebenarannya terungkap. Aku tahu caraku salah, tapi--"

Mamah mengangguk, beliau kayaknya prihatin lihat gue yang nangis sesegukan karena menyesal. Bahkan buat menjelaskan masalahnya pun sangat perjuangan. Beliau tahu ini bukan keinginan gue. Dan yang dia lakukan hanya tersenyum di antara bulir-bulir air matanya yang jatuh.

“Intinya, kamu mau menyelamatkan rumah tanggamu, kan?”

Detik itu juga gue berhenti terisak. Tangan lembut mamah membalas genggaman tangan gue yang sedaritadi memohon maaf. Rasanya, kalimat itu begitu menghantam hati gue.

Apa di balik alasan pertanggungjawaban, gue ingin rumah tangga ini selamat tanpa sadar?

   "Mamah kecewa berat. Kamu tahu itu, Mia. Mamah mau marah, tapi mamah sangat paham kamu gimana. Walau hati mamah sakit, tapi mamah tahu ini bukan keinginan kamu."

   Mamah sempat memukul-mukul dadanya yang mungkin sesak karena menahan amarah, tapi gue menggeleng dan menahannya.

“Kalau kamu yakin, mamah juga yakin. Mamah tahu Kyungsoo sebelum kamu mengenalnya. Jadi mamah harap ... semua yang kamu lakukan adalah sebuah kebenaran.” Dada gue rasanya sesak saat mendengar itu. Mamah percaya sama gue, di saat matanya jelas-jelas menunjukkan kekecewaan.

Entah mungkin karena gue berbohong, karena menantunya menghamili perempuan lain, atau bisa aja dia nyalahin diri sendiri karena gagal menjadi orang tua.

Mamah itu ... pribadi yang sering ngomel dan marah untuk hal kecil. Tapi di saat seperti ini, entah kenapa dia bisa mengontrol perasaannya yang gue yakini enggak sebaik senyumannya sekarang.

Terkadang, marah lebih baik daripada menampakkan raut kecewa yang teramat dalam. Dan perlahan hati gue terkikis oleh tatapan kecewa itu. Rasanya sakit.

Setelah bernegosiasi supaya mamah enggak mengatakan hal ini pada anggota keluarga yang lain, beliau setuju. Dengan harapan gue bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat. Mamah akan selalu berdo'a supaya kebenaran akan menghancurkan kejahatan.

“Mamah tahu ... ini bukan yang kamu inginkan. Hmm?” Setelah kalimat itu keluar, anggota keluarga gue yang lain masuk tanpa diminta. Katanya, mereka khawatir karena kami nangis.

Mamah menjelaskan kalau gue sangat khawatir dengan keadaannya, pasalnya, gue yang mendapati beliau pingsan. Walau ada setitik ketidakpercayaan dari ayah, beliau tetap mengangguk dan beralih menanyakan keadaan mamah.

Di sela-sela aura kebahagiaan yang terpancar karena mamah baru siuman, gue tiba-tiba dibisiki sesuatu.

“Kandungannya gimana? Sehat?” tanya mamah lemah dan gue menggeleng pelan.

“Mia enggak tahu, dari awal hamil aja aku belum sempat periksa ke bidan.” Mamah mengangguk dan mengelus lagi tangan gue dengan lembut.

“Pergi ke bidan, minta antar sama seseorang. Periksa kandungan kamu dan tanya apa yang harus kamu lakukan pas hamil muda gini,” ucapnya dan gue mengangguk patuh. Beliau tersenyum lagi sambil menatap perut gue. “cucu nenek harus kuat. Kalian pasti sehat.”

Hati gue sakit sekaligus menghangat melihatnya.













👀

“Lo ngapain di sini?” tanya Mira pas baru aja masuk ke minimarket dekat rumah sakit, di mana gue berada. Niatnya menenangkan diri setelah nangis hebat di kamar rawat. Gue sempat nanya balik, dan Mira menjawab mau jengukkin mamah gue yang baru sadar.

“Gue nunggu Wonho, mau minta anter ke bidan.”

Mira menggeleng setelah mendudukkan dirinya di depan gue dan bilang, “Beneran si Wonho jadi bapaknya.”

Dengan semangat, Mira mengeluarkan handphone-nya dan antusias menceritakan kenapa dia bisa tahu info soal ayah Inha yang ternyata seorang tersangka koruptor. Begitupun dengan gue yang langsung menceritakan soal tuduhan gue terhadap Inha kalau dia yang meneror selama ini. Termasuk kejadian dulu, di mana Kyungsoo telat pulang dan mang Dong Wook mendapati ada cewek yang nanya-nanya suami gue itu. Ternyata bukan Inha, kandidat yang selalu gue curigai.

Mira awalnya lupa, tapi dia ingat bahwa gue sempat membocorkan rahasia ini (surat teror) pas dia datang ke rumah Wonho.

“Gue enggak terlalu peduli sama masalah itu, sih. Soalnya gue kira itu bukan masalah besar. Toh, lo bilang suratnya enggak datang lagi.”

“Lupakan! Sekarang gini deh, kalau misalnya Inha emang bener bukan peneror itu ... berarti gue menemukan keanehan baru,” ujar gue membuahkan kerutan kening di wajah Mira. Sebisa mungkin, gue akan menjelaskannya pelan-pelan. “di surat terakhir, dia mengatakan akan menunjukkan gue sebuah pertunjukkan. Di mana gue tahu kalau Inha hamil anak Kyungsoo.”

So? Itu berarti dia tahu kemana Kyungsoo bakal pergi, di mana Inha berada, dan kapan gue datang ke kampus sampai bisa membaca surat terakhirnya. Dan yang lebih penting, dia tahu soal kehamilan Inha jauhhhhhh sebelum gue dan Kyungsoo tahu. Dia merencanakan semuanya, dan dia menggerakkan kami bertiga secara serempak seperti boneka.”

“Bukankah berarti dia orang yang dekat? Orang yang ternyata ingin mengadu-dombakan gue sama cewek itu?”

“Orang yang paham betul persoalan antara gue, Kyungsoo dan Inha ...”

Mata Mira sedikit membulat, tangan kanannya spontan menutup mulut tanda enggak percaya. Sepertinya, otaknya mulai mencerna penjelasan gue barusan. Dengan pelan dia berujar, “Jadi maksud lo-”

“... ada orang lain yang menyukai Kyungsoo selain Inha, dan itu adalah si tukang teror. Otak dari semua masalah yang tercipta.”

BRUK!

Kami berdua menoleh ke sumber suara, kayaknya ada beberapa makanan yang jatuh di rak minimarket. Saat itu juga gue melihat seseorang, berdiri kaku di sana.


“Kak Irene?”

Prof. AstigmatismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang