Three

46 9 0
                                        

Setelah menempuh perjalanan yang cukup membuat kulit lengket karena keringat, dan pakaian yang sedikit kucel, serta wajah cantikku sedikit luntur karena panasnya didalam bis yang aku tumpangi, akhirnya sampai juga aku di mall yang cukup besar dan mulailah aku untuk melangkah masuk kedalam.

"Yam! Tunggu!" seruan itu muncul dibelakangku dengan suara yang kencang, aku mengenali siapa dia.

Aku berbalik dan mencari sumber suara itu, dan ketemu-dia berada tak jauh dari belakangku. Aku melambai dan tersenyum kearahnya.

"Lu juga baru dateng?" tanya Dilah saat dia sudah disisiku.

"Iya."

Kami mulai berjalan memasuki mall bersama sesekali melihat pakaian dan aksesoris yang berada di mall.

"Gua kira, gua doang yang baru dateng. Bocah pada dateng getap banget."

"Santai aja kali, filmnya juga belum dimulai."

Aku dan Dilah sering pulang bareng kalau sekolah, bahkan rumah kita pun jaraknya lumayan dekat.

"Bocah udah pada ngebeli tiket belon ya?"

Kebiasaan Dilah adalah menggunakan bahasa asli daerahnya, tak heran kalau sudah mengerti bahasanya.

"Meneketehe."

***

Sesampainya di bioskop yang biasanya orang bilang tweenty one ini, kami bertemu bocah yang dimaksud Dilah saat percakapan masuk mall.

Tiket dengan film yang akan ditonton sudah dibeli oleh Ulfah dan Lia. Tinggal menunggu waktu kapan saatnya kami menonton film tersebut.

"Gua samping Iyam." celetuk Dilah.

"Dih, aku lah. Kan aku udah bilang sama Iyam." sahut Ulfah tak mau kalah.

"Gak, bodo amat. Pokoknya, gua sama Iyam!"

Dari awal masuk studio, mereka meributkan teman samping duduknya. Aku heran mengapa mereka malah ingin duduk disamping aku? Spesial kah?

Jangan geer kamu teh Maryam.

"Plis, jangan ribut, mending gua tengah-tengah kalian." keputusan yang adil memang.

"Lia gak direbutin?" cicit Lia saat duduk disamping kanan Ulfah.

"Maaf ya Lia, emang cuma gua yang spesial disini." ucapku membalas.

"Gua takut Yam! Bukan ngerebutin lu." Dengan cuek Dilah berucap sambil menatap lurus kearah layar film, sedangkan aku yang mendengar tersentak. Sakit euy.

"Kan, kalau ada Iyam bisa berlindung." kata Ulfah sambil cengengesan.

"Tubuh gua emang lebih gede dari kalian, tapi gua juga takut kali sama nih film."

"Ssstt!! Udah mulai juga, masih berisik aja." omel Lia jengkel dengan sikap kami.

Semua henyak dalam film yang sedang berputar, suara yang menggema membuat ketegangan disetiap tubuh. Kadang aku berteriak saat sosok seram muncul, kadang aku menutup mata dengan tangan sendiri saat mendengar suara mengerikan dari hantu yang muncul. Semua memperhatikan, aku tidak fokus dengan getaran yang timbul dari ponselku. Aku mengecek, ternyata beberapa panggilan tak terjawab dari seseorang.

"Jangan nyalain hape ih!" Sebelumnya aku terkejut karena suara film, dan sekarang aku terkejut oleh bentakan kecil dari Dilah yang disamping kiriku.

Ulfah aja gak merasa terganggu kok, padahal dia lagi nyempil di ketek kanan aku.

"Meria, dia nelpon gua. Masa gua diemin." setelah menghubungkan balik ke nomor Meria, akhirnya dijawab.

"Lu dimana? Film udah dimulai nih." ucapku sedikit pelan.

"Iya, tunggu. Ini aku lagi jalan ke studio." ucap Meria seperti orang berlari maraton. Tersendat-sendat suaranya.

"Oke, tau kan tempat duduknya?"

"Iya."

"Sip, gua tutup ya."

Setelah memutuskan sambungan telepon dari Meria, tidak lama ia datang dan menghampiri tempat duduk kami dan Meria duduk disamping kiri Dilah yang kosong.

Sampai akhirnya film selesai, kami semua menyerbu toilet yang tidak jauh dari studio. Beser semua.

"Iyam mah nangis masa, pas adegan akhir." Komen Dilah saat kami keluar toilet.

"Dia tuh terharu sama filmnya." Ucap Ulfah menambahkan.

"Habis adegannya ngingetin gua sama seseorang." belaku saat Meria dan Lia sibuk menertawakanku akibat ulahku sendiri.

"Mana ada, dikehidupan lu disukai banyak orang? Yang ada dibenci." pedes banget omongan Meria. Udah kebal untungnya.

"Ada kok, yang suka sama gua." kataku bersemangat.

"Itu mah beda kali. Lu nya aja kegeeran yang ngerasa disukain." sumpah ingin aku menyumpal mulut pedas Meria dengan bumbu asin mama tadi.

"Habis ini kita mau kemana?" tanya Lia saat kami sudah berada ditempat makan bagian mall.

"Makan!" seruku.

"Emang Maryam doang dah yang pikirannya makan mulu." kenapa harus Meria terus yang komen.

Walaupun begitu, mereka setuju dengan usulanku. Bukan usulan sih sebenernya, memang sudah sore perut perlu asupan agar mendapat energi kembali. Biar pulang ada tenaga saat menaiki bis yang pastinya sangat penuh, dan kami terpaksa harus berdiri yang berpegangan pada besi yang panjangnya sampai ke belakang itu.

Setelah memesan makanan yang kami inginkan, sebagian mencari tempat duduk termasuk aku dan dua temanku yang lain. Sedangkan dua orang lagi menunggu pesanan. Karena disini pengunjung sudah mengisi hampir penuh didalam akhirnya kami mencari diluar agar leluasa untuk berbincang dengan suara yang seperti kucing kejepit, aku sih cuma seperti pengeras suara aja alias toa .

"Eh, bilangin ke Meria sama Ulfah dong, gua gak jadi mesen makan." ucapku ke Dilah dan Lia yang asik memainkan ponselnya masing-masing.

"Ngomong ama siapa Yam?" tanya Dilah dengan cueknya masih memandang ponselnya yang lebih menarik dibanding aku. T_T.

Posisi duduk kami saling berhadapan, tapi kami beda meja, aku di meja delapan sedangkan Lia dan Dilah dimeja tujuh. Jadi, duduk kami bersebrangan, terhalang oleh dua meja dan dua kursi. Gak ngerti juga? Ya sudah derita kalian.

"Gak jadi, gua bisa sendiri." akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri untuk bicara ke Meria.

"Lah? Dia kenapa Dil?" tanya Lia heran saat aku melewati mereka berdua.

Samar-samar aku mendengar Dilah bicara "bagenin, lagi sensi."

Emang teman kurang hajar.

Saat aku kembali, aku melihat sosok lain yang duduk dengan kedua temanku tadi, memakai baju putih dan kerudung hitam. Karena posisinya membelakangiku, aku jadi penasaran siapa dia. Akhirnya aku mendekat dan melihat dengan jelas siapa dia. Ternyata..

"Eh, Audri. Kirain siapa? Kok bisa kesini?" ternyata teman sekelasku juga. Kirain..

"Diajak sama Lia." jawab Audri dengan suara yang lembut banget, saking lembutnya sampe gak kedengeran.

Audri ini salah satu teman sekelas aku juga, sama seperti Ulfah, Meria, Lia, dan Dilah. Aku gak begitu dekat dengan Audri, tapi aku cukup kenal dengan pribadinya yang kalem, lemah lembut, dan pendiam. Berbeda dengan temanku yang absurd lainnya.

"Pesen gih makan, minum." ucapku mengajak. Setelah itu aku duduk disamping Audri.

"Noh, mau ditraktir sama Maryam." ejek Dilah dengan tawa yang ditahan.

"Duit gua aja menipis, boro-boro traktir." setelah mengucapkan itu aku bangkit untuk pindah ke meja sebelumnya.

"Tuh kan sensi." celetuk Dilah.

Second Love (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang