Twenty Seven

10 1 0
                                    

Lo boleh egois, tapi inget batasnya.
Jika dirasa sudah cukup. Berhentilah.
Jangan buat semakin meningkat.

♡♡♡

"Terserah kamu lah, aku males denger kamu." Dimas meneguk sirup yang telah dibuat Maryam.

"Kamu kok gitu? Jadi kamu udah males sama aku?"

"Aku males dengerin kamu marah-marah gitu. Bisa gak, kamu jangan marah-marah?" Ia meletakkan kembali cangkir yang sudah habis isinya.

"Wajar dong aku marah. Salah kamu kok. Masa aku harus diam aja?" Tak terima. Dimas mendengkus lelah. Ia mencoba untuk sabar dengan marah gadisnya.

"Ya, salah aku dimananya? Coba jelasin aku salah apa? Kenapa tiba-tiba kamu jadi sensitif gini sih?"

Dimas berusaha tidak membentak Maryam, karena ia tahu air mata yang akan bicara setelahnya. Maryam tipe orang yang mudah perasa, mudah emosional, mudah sekali untuknya menjadi rapuh. Dimas memikirkan bagaimana cara membuat gadis dihadapannya ini mau menyelesaikan masalah mereka dengan musyawarah saja. Tidak dengan emosi seperti sekarang.

"Kemana kamu kemarin?" Maryam mencoba menahan tangisnya.

"Aku kerja. Kan aku udah bilang sebelumnya."

"Kamu kerja tapi malah asik sama perempuan lain, itu maksud kamu?!"

"Kok-duh. Gini deh, kamu sekarang lagi emosi. Kita bahas lagi nanti setelah emosi kamu reda. Jangan disini, malu. Nanti Mama kamu denger, kan gak enak."

Dari awal, Dimas ini memang tidak suka jika Maryam sudah marah-marah. Ia merasa malas menghadapinya, pasti setelahnya Dimas lah yang harus meminta maaf. Sudah sering terjadi dan itu membuat Dimas gerah dengan sikap Maryam yang satu ini. Yaitu pemarah.

Dimas akan selalu berusaha bagaimana agar masalah itu selesai tanpa adanya pertengkaran atau tangisan. Dimas paling benci jika Maryam sudah menangis karenanya. Itu membuat ia merasa gagal menjaganya selama ini. Ia tidak suka jika Maryam membahas hal yang sudah lalu atau hal yang dapat memancing emosi keduanya. Seperti sekarang ini ia lupa memberi kabar bahwa kemarin ia memang bertemu teman lamanya.

Bukan maksud menutupi, namun Dimas memang tidak ingin bercerita. Menurutnya itu tidak penting diceritakan dalam hubungan mereka. Dimas berpikir bercerita orang lain yang tidak dikenal Maryam hanya percuma, itu sama saja merusak suasana. Yang diinginkan Dimas hanya seputar cerita antara mereka, tidak ada orang lain yang ikut dalam cerita mereka.

"Kamu mau lari dari masalah?" Cairan bening yang ditahannya runtuh. Maryam mencoba menghapusnya dengan lengan bajunya, namun tidak ada tanda cairan itu akan berhenti malah semakin banjir saja.

"Hei, hei. Jangan nangis dong. Duh, aku kan jadi bingung." Dimas mencoba mendekati Maryam yang jaraknya satu setengah meter dari hadapannya. Ia membantu menghapus jejak tangis sang gadis.

"Udah ya, jangan nangis dong. Aku minta maaf deh, aku salah. Aku tau kok."

"Emang kamu tau, apa salah kamu?"

"Iya, aku salah karena gak cerita ke kamu kalau aku kemarin pergi sama temen."

Dimas frustasi, melihat Maryam yang menangis begini membuatnya marah dan tidak suka. Sangat tidak suka.

"Temen? Bukan selingkuhan?"

"Ya ampun, negatif amat pikirannya." Dimas menghela nafas lelah, haruskah seperti ini terus jika ia sedikit saja tidak mengabari? Apa Maryam sadar bahwa ia juga sering pergi dengan laki-laki lain yang katanya hanya teman. Lantas mengapa Dimas tidak boleh seperti itu? Serba salah.

Second Love (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang