Twenty Four

8 3 0
                                    

"Ada lagi gak yang mau dipinjam? Selagi aku ada waktu luang." Dimas menawarkan kembali saat Maryam melihat-lihat lembar demi lembar halaman buku dan membaca bagian perundang-undangan.

"Gak perlu, aku udah banyak ngerepotin." Maryam tersenyum canggung. Ia tak mengira jika perkataan Dimas semalam melalui jaringan telepon akan mengabulkan permintaannya.

"Serius nih? Biar kalau perlu apa-apa bilang aja sama aku. Nanti aku bantu sebisaku."

"Iya, Mas. Aku udah banyak ngerepotin. Makasih sebelumnya."

"Gak ngerepotin. Aku biasa aja."

"Ya itu kan kamu. Tapi aku yang gak enak."

"Jadi, udah ngobrolnya? Kapan makan nih? Laper gue." Tiba-tiba Meri celetuk mengambil perhatian karena dirinya berasa tidak dianggap diantara dua sejoli yang saling menyimpan rasa.

Meri sengaja main ke rumah Maryam setelah beres ujian. Ia hanya ingin refreshing setelah otaknya bekerja terlalu keras. Pelajaran Matematika membuat otaknya mati sementara. Jalan satu-satunya hanya rebahan dan main ke rumah teman. Namun tak lama Dimas datang ke rumah Maryam yang katanya ingin meminjamkan buku PKN sesuai jadwal besok. Dasar Maryam, bisa saja mengambil kesempatan.

"Oh, yaudah bentar gue ambilin masakannya dulu." Maryam pergi ke dapur menyiapkan piring, sendok, dan lauk pauk yang akan disediakan untuk makan siang mereka di rumahnya.

"Kamu masak?" Dimas muncul saat Maryam sedang meraih sendok-sendok disudut dapur. Tanpa diduga Dimas mendekat membantu mengambil sendok tersebut yang berhasil mengikis jarak keduanya. Maryam meneguk ludah, tubuhnya secara reflek menjadi panas dingin. Gemetar dan pacuan jantungnya meningkat.

"Kok diem aja? Gak jadi ambil sendoknya?" Pertanyaan itu tepat sekali ditelinga Maryam. Hembusan napas Dimas sangat dekat dan terasa sekali punggungnya sedikit lagi hampir bersentuhan kalau saya  Maryam tidak menahan tetap ditempatnya.

"B-bisa munduran? Aku mau balik badan."

"Balik aja. Emang kenapa?"

"Su-susah. Kamu kan terlalu deket."

"Oh.. kenapa emangnya? Gak suka?"

"Suka! Eh." Keceplosan. Maryam mengutuk mulutnya yang berbicara tanpa rem itu.

"Hahaha.. yaudah gak aku ganggu deh. Aku bawain piring sama bagian beberapa lauk ya." Dimas menjauh dan langsung membawa beberapa lauk serta tiga buah piring yang akan dipakai mereka makan.

Setelah dirasa pasokan udaranya kembali normal, Maryam mengelus dada dan mencoba mengubah pikirannya yang sesaat kacau dan kembali menjadi biasa saja. Namun sangat sulit baginya menetralkan mimik wajahnya saat matanya lagi-lagi menatap senyum Dimas yang begitu membuatnya teringat kejadian barusan. Sungguh bodoh mulutnya.

"Lo kenapa sih, berdua? Ada yang disembunyiin ya? Abis ngapain lo berdua di dapur tadi?" Meri curiga dengan sekembalinya Maryam yang memberi jarak dengan posisi duduk yang tadinya dekat dengan Dimas menjadi sangat jauh. Bahkan wajah Maryam terlihat memerah apalagi saat Dimas melirik kearah Maryam.

"Kepo lo." Yang menjawab Dimas. Ia tidak suka hubungannya diketahui banyak orang. Dan paling tidak suka jika kejadian tadi atau apapun harus dibagi dengan orang yang tidak ada urusannya.

"Kenapa sih, Yam? Kepo gue."

"Engga, udah makan dulu aja ya." Maryam sibuk menyiapkan nasi, lauk pauk yang tersedia untuk Dimas.

"Makasih." Dimas berucap setelah makanannya ternyata telah disiapkan oleh Maryam.

"Elah, lebay lo Dim. Kayak gak punya tangan pake disediain sama Maryam." Meri berkomentar.

Second Love (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang