Twenty Six

12 2 0
                                    

"Need your time, beib."
.
.
.

Terkadang.. aku hanya ingin egois.

Aku ingin kamu ada bersamaku selama 24 jam

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

"Udah, Yam. Jangan nangis. Cowok kayak gitu bagusnya dibuang aja." Ucap Meri asal.

"Hiks.. dia bilang-hiks.. bakal hubungi gue. Tapi, sampe dua hari gak ada kabar.. gua chat pun cuma diread. Gue telpon selalu gak diangkat." Keluh Maryam sambil membuka obrolan chatnya dengan Dimas. Membacanya berulang-ulang selama dua hari tidak ada kabarnya Dimas.

Awalnya hanya berpikir mungkin ia sibuk. Hingga kalo sibuk bales kek walau dikit. Bilang lagi sibuk gitu! Bikin emosi aja. Lama-lama menjadi kalo emang udah punya yang baru ngomong dong. Gak usah bikin orang jadi gila nungguin chat dia terus ketawa-ketawa tiap kali liat chattan. Kan bangsat banget cowok kayak gitu.

"Sabar aja sih, Yam. Makanya jangan terlalu dibawa perasaan. Kamu kan juga harus fokus ujian." Ulfah mengelus pelan punggung Maryam.

"Sebelumnya ada masalah apa sama Dimas?" Tanya ulfah disela isak tangis Maryam yang sangat mendramatis.

"Gak ada!" Maryam membentak. Seolah ia menutupi apa yang sebenarnya terjadi. "Gue cuma kasih nasehat buat dia tiap hari, soalnya dia sakit kan. Makanya tiap hari gue bawel kasih wejangan jangan minum es kalo malam hari. Dia juga lagi kerja kan, jadi gue kasih tambahan buat pake balsem biar dadanya anget gitu." Maryam mengambil tisu yang sudah keberapa saat ini. Membuang cairan yang ada didalam hidungnya.

"Mungkin Dimas gak mau dibawelin." Tebak Ulfah.

"Nah, iya. Bisa jadi dia males selalu dengerin nasehat lo, Yam. Dia muak tuh diceramahin yang isinya itu itu aja." Meri ikut memanasi.

"Iya kali ya? Emang salah ya gue kayak gitu?"

"Salah lah! Lo kan bukan siapa-siapa dia? Emang dia pernah nembak lo? Enggak kan?"

Nusuk banget kata-katanya. Untung temen.

"Ya.. iya juga sih, tapi kan kita ada komitmen."

"Komitmen aja gak cukup, Yam. Lo harus ada hubungan spesial yang buat dia terikat sama lo."

"Terikat. Bahasa kamu tuh ketinggian. Emangnya peliharaan ya sampe diikat." Ulfah mengambil tisu yang berada tak jauh dari jangkauannya dan ia berikan kepada Maryam.

"Ih, enggak. Maksudnya tuh ya biar Dimas tau mana yang harus dia prioritaskan." Dirasa tenggorokannya butuh cairan, Meri bangkit untuk ke arah dapur mengambil minum.

"Engga.. kalo menurut Ulfah, gak perlu adanya hubungan pun, Dimas pasti tau mana yang menurutnya benar dan salah. Lagian kan kita ini masih sekolah. Gak baik juga malah mementingkan soal hubungan kayak gitu. Mending fokus dulu ke sekolah. Nanti jodoh biar Allah yang tentukan."

"Makasih ya kalian udah mau dengerin curhatan gue." Maryam terus mengelap wajahnya dengan tisu. Air mata terus menerus memproduksi tanpa tahu bahwa mata sudah sangat lelah.

"Gue sih gak peduli." Meri datang dengan dua gelas air rasa lemon yang mungkin baru saja dibuatnya. "Nih, minum dulu. Lo mau kurus kan? Air lemon paling pas buat lo, Yam."

"Bagi daging lah, Yam. Ulfah butuh tambahan berat badan."

"Kalo bisa juga bakal gue transfer, Fah." Jawab Maryam ketus.

Meri dan Ulfah tertawa dengan jawaban Maryam. Suasana kembali tenang. Tak ada tangisan dan cerita drama yang membuat sakit hati. Mereka menghabiskan waktu akhir pekan di rumah Ulfah dengan berbagai kisah. Membawa kenangan baru untuk menambah memori di masa yang akan datang.

Waktu sangat cepat berlalu, hubungan Maryam dengan Dimas masih terus berlanjut hingga sudah hampir dua tahun lamanya. Namun belum ada kejelasan lebih dari hubungan mereka.

Sudah terlalu nyaman untuk mereka sebagai teman. Tidak perlu khawatir dengan kata-kata putus yang bisa saja diucapkan ketika sedang emosi meluap. Hanya dengan sikap cuek dan saling mengalah mengucap kata maaf. Itu yang biasa terjadi jika mereka sedang dirundung emosi.

Banyak sekali pertanyaan dalam diri Maryam. Mengapa dan bagaimana bisa Dimas begitu sabar dengan semua tingkah lakunya yang astaghfirullah sekali. Bahkan Maryam sangat egois bila berhubungan dengan Dimas. Sungguh rahasia apa yang Dimas miliki sehingga dapat begitu kuat menghadapi Maryam.

🌻🌻🌻

Sudah seminggu berlalu, namun Maryam tak kunjung dapat kabar dari Dimas. Entah masing-masing dari mereka gengsi untuk memulai kembali obrolan atau memang Dimas memiliki perempuan yang membuatnya nyaman. Tidak seperti Maryam yang selalu marah-marah, egois, dan keras kepala.

Apa yang harus dilakukan Maryam kali ini. Ia sangat bingung. Kesal, khawatir, gengsi dan semua sifat dalam dirinya keluar. Maryam melihat lagi obrolannya dengan Dimas.

Terkahir dilihat hari ini pukul 11.23

Dan sekarang pukul 12.00. Belum terlalu lama kan Dimas cek Whatsapp? Batin Maryam.

Keterangan dalam Whatsapp sudah jelas bahwa Dimas memang tidak mau memulai percakapan dengannya. Maryam kesal. Ia mencoba sabar dan menahan bulir air mata yang siap tumpah kapan saja.

"Eleuh... Yam. Udah sih, jangan liatin terus tuh obrolan. Basi! Mending chat buruan." Meri yang baru datang dari kamar mandi langsung menepuk pundak Maryam jengkel.

"Gak mau." Jawabnya cepat.

"Hieh! Gengsi digedein. Dimas selingkuh nyaho maneh."

"Apaan si! Dimas gak gitu ya."

"Makan tuh gengsi!" Meri berlalu untuk mengambil mukena dan pergi ke musholla.

Maryam terdiam cukup lama dan merenungi perkataan Meri yang-walaupun sarkas tapi-benar juga.

Mulai..

Enggak..

Mulai..

Enggak..

Maryam
Dimas
12.07

Online

Maryam menahan nafas sebentar sebelum membuka balasan chat dari Dimas.

Dimas
Ya
12.08

Maryam
Apa kabar?
12.08

Dimas
Baik

Kamu?
12.10

Maryam
Kangen
12.10

Dimas
Sma siapa?
12.13

Maryam
Kamu
12.13

Setelah itu, tak ada lagi balasan. Hanya diread. Maryam menunggu. Ia yakin setelah ini pasti dibalas. Tunggu beberapa menit lagi. Pasti dibalas. Begitu terus pikirnya.


TBC

.
.
.

BAGAIMANA CHAPTER INI?

AKU TUNGGU VOTE DAN KOMEN KALIAN YA..

MAKASIH YANG UDAH SETIA BACA DAN MEMBERI VOTE😘

MAU LANJUTANNYA GAK?

SEE YOU NEXT GUYS🌻





Second Love (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang