Konflik dan Resolusi (Tips)

812 68 20
                                    

Kalian pasti tahu apa itu konflik dan resolusi. Tapi apa kalian tahu makna konflik dan resolusi dalam sebuah cerita?

Yups, konflik dan resolusi itu semacam nyawanya cerita. Kalau enggak ada konflik, kenapa harus diceritakan? Dan kalau ada konflik, pasti harus disertai penyelesaian, 'kan?

Jadi, ayo kita belajar cara memunculkan dan mengeksekusi konflik!

1. Selalu tampilkan konflik dalam tiap adegan.

Kalian tahu adegan tanpa konflik itu terasa bagaimana? Iya, membosankan. Tapi enggak berarti juga kita harus membuat seribu konflik untuk seribu adegan, ya. Cukup satu konflik utama, namun ditampilkan secara bertahap dan mungkin misterius--agar timbul unsur suspense dalam cerita.

Ingat, jangan pernah memasukkan adegan yang enggak ada sangkut pautnya sama konflik utama. Adegan penegas watak? Boleh-boleh saja. Tapi alangkah baiknya kalau diselingi konflik juga.

Misalnya, aku mau membuat cerita berkonflik utama perubahan diri Parameswara dan apakah dia akan kembali ke dirinya semula. Aku bisa buat adanya pertanyaan si sahabat tentang mengapa Parameswara berubah di adegan pertama. Lalu di tiap bab berikutnya, aku bisa menampilkan satu per satu tahapan perubahan diri Parameswara dan alasan-alasan kecilnya. Di beberapa bab selanjutnya, aku bisa buat klimaks berupa adegan twist dan hal terbesar yang membuat Parameswara berubah. Lalu aku eksekusi secara mendalam dan hati-hati, agar bisa menampilkan ending yang memuaskan aku pribadi.

Jadi, ya, konflik seharusnya memang ditampilkan dari awal dan dieksekusi secara mendalam.

2. Jangan menyelipkan konflik lain yang malah membuat konflik utama tersamarkan.

Ini, nih, yang paling membuat pembaca tak mau melanjutkan membaca cerita kita--menurutku, seenggaknya. Bagaimana perasaan kalian waktu membaca cerita yang memiliki terlalu banyak konflik tapi tak berujung ke satu pun konflik utama? Kalau aku, sih, pasti langsung ngacir pergi dari cerita itu dan remove dari library atau segera tutup buku dan menyesal gara-gara sudah membeli.

Jadi, jangan lakukan hal serupa dengan ceritamu sendiri, ya.

3. Jangan pernah mengeksekusi konflik secara setengah-setengah.

Resolusi itu sepenting konflik. Ditambah lagi, resolusi yang buruk juga akan memberi akhir yang buruk. Dan kalau cerita kita memiliki bad ending, apa yang akan dilakukan pembaca kita? Kalau aku pribadi, sih, akan berjanji pada diri sendiri enggak akan lagi membaca cerita dari penulis yang sama.

Misal:
Untuk konflik yang sama seperti contoh di atas, aku memberi resolusi penceritaan masa lalu Parameswara yang menjadi alasan tak terbantahkan untuknya berubah. Lalu karena aku menggambarkan Parameswara sebagai sosok feminis yang sekuat baja, aku akan membuat dirinya tak akan kembali ke dirinya yang dulu. Selain untuk mempertegas wataknya--enggak plin plan--aku juga sekalian mau memberi amanat bahwa semuanya berubah dan tak ada yang bisa menghentikan atau mengembalikan keadaan. Apalagi, kalau kamu sendiri yang menjadi pendorong perubahan tersebut dan orang yang--kemungkinan besar--bisa mengembalikannya telah tiada.

Okay, maafkan bahasaku yang terlalu berbelit-belit.

Jadi, ya, this is it.

Tipsnya segini dulu, ya. Iya, aku enggak riset dulu, makanya cuma segitu. Semua tips di sini berdasarkan pengalaman pribadiku. Jadi, kalau kalian ada tips lain atau pembantahan tips di sini, tolong cantumkan di kolom komentar, ya. Biar aku perbaiki dan kita bisa belajar bersama-sama.

Dunia TintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang