Heksa

302 28 2
                                    

Berbeda dengan Zifa yang melangkah bersemangat di sepanjang koridor menuju kelas barunya, Virgo tertinggal beberapa langkah di belakang bersama segala pemikiran negatif yang menggerayangi pikirannya. Dia terus menunduk. Tak melihat kakak-kakak kelas yang berpapasan dengannya dan terkesima oleh keberadaannya.

"IPA satu! Kita satu kelas, Virgo!"

Pekikan melengking itu terngiang dalam benaknya.

Setahun sama Zifa? Bisa gila aku!

Dia menghela napas berat untuk menguatkan diri. Zifa sudah masuk kelas. Duduk di sebelah Dimas yang tengah jadi gula bagi cewek-cewek yang mengerumuninya. Mereka tampak sibuk melihat peralatan sekolah Dimas. Gayanya seperti om-om kaya raya yang lagi clubbing dan dilingkari gadis-gadis malam. Ya, dia memang kelihatan memesona dengan segala peralatan sekolah bermerk itu. Apalagi wajahnya yang memang terbilang tidak dapat diremehkan. Bibir mungil yang entah tengah membual apa itu, kelihatan mampu menggaet hati para cewek.

Virgo menghela napas lagi. Lalu menelan ludah. Dia harus bisa menerima semuanya. Dia harus bisa mencari celah positif di tengah pekatnya pikiran suram itu.

Setelah dia meyakinkan diri untuk yang kesekian kali, dia melangkah masuk.

"Wih, saingan berat gue dateng juga."

Virgo hanya melirik sekilas ke arah Dimas yang duduk bersama Zifa itu. Cowok itu tengah tersenyum sinis ke arah Virgo. Cewek di sekitarnya langsung berbisik-bisik. Kali ini Dimas tak pakai kacamata. Wajahnya jadi kelihatan tambah arogan. Minta dilempar panci pokoknya.

Sementara itu, Zifa hanya mengerling ke arah Virgo. Dia berkomat-kamit sambil menepuk-nepuk kursi yang masih kosong di bangku sebelah. Menyuruh cowok berkacamata itu duduk di sana.

Namun Virgo tak menghiraukannya. Dia membuang muka dan berjalan cepat ke bangku paling pojok yang berada tepat di muka meja guru.

Virgo melirik sesaat ke arah Dimas ketika dia tengah mengambil novel dari tas. Lantas menggeleng pelan menghalau pemikiran tak sehat untuk balas dendam.

Sekonyong-konyong cowok dengan kulit coklat sawo matang menghampiri bangku yang ditempati Virgo. Senyum terbit di antara kedua belah pipinya ketika Virgo menoleh. Kelihatannya dia punya aura positif. Dan Virgo senang merasakan hal itu. Karena setelahnya, cowok itu meminta agar dia bisa duduk di dekatnya.

"Boleh duduk sini?" Kedua alisnya naik. Wajahnya ramah sekali.

"Boleh," Virgo tersenyum simpul. Sayangnya tetap saja Virgo tak bisa mengimbangi keramah-tamahan cowok itu.

Cowok itu mendaratkan tubuhnya di kursi. Lalu mengulurkan tangan.

"Gue Galih Pradana Setiawan. Temen gue pada sering manggil gue GPS. Nama lo siapa?"

Virgo gugup. Entah kenapa sebutan lo-gue masih terasa begitu pelik di pendengarannya. "Virgo. Divano Virgo Rakawira," jawabnya singkat dan datar seraya membalas jabatan tangan cowok berbibir belahan jeruk itu.

"Dari SMP mana?"

"Saya dari SMP lima Jogja. Kamu?"

Galih mengangguk-angguk. Baru mengerti kenapa cara bicara teman barunya itu begitu lembut dan formal, meski begitu singkat. "SMP dua Tangerang. Bokap nyokap gue pindah kerja di sini tahun lalu. Tapi gue baru ikut mereka sekarang. Lo sendiri?"

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang