Kegalauan yang Virgo rasakan ternyata terbawa sampai rumah. Dia duduk di meja belajar. Hanya membuka buku catatan. Tak tertarik untuk membacanya. Bukannya menghalau, pikirannya justru terus menyelami perasaan aneh yang semakin bergentayangan dalam hatinya.
Apa benar ini yang dinamakan cemburu?
Dia terus bertanya. Rasanya hampir sama seperti dulu ketika hanya Rendra yang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Antara jengkel, gemas, dan geregetan ingin mendapatkan hal yang sama. Pun tak terima kalau dirinya tersisihkan.
Kali ini bukan pada Rendra, Virgo merasakan hal tersebut. Tapi pada Zifa. Tapi kenapa? Kenapa harus pada Zifa?
"Kenapa sih, ngelamun mulu, lo, dari tadi?" Rendra duduk di sebelah Virgo. Memainkan game dalam ponsel. Akhir-akhir ini kondisi Rendra sedikit menurun. Bunda menyuruhnya untuk berhenti melakukan hobinya memasak sampai kondisinya stabil lagi. Game online-lah yang akhirnya jadi pelampiasan.
"Kakak udah tahu kalau Zifa punya pacar?" Akhirnya Virgo bisa mengatakan ini. Seharusnya ini bukan saat yang tepat mengingat kondisi Rendra kurang baik. Takut kakaknya malah syok. Tapi Virgo benar-benar tak punya topik pembicaraan lain. Lagi pun, kasihan Rendra kalau sewaktu-waktu nembak Zifa tapi Dika masih jadi pacarnya.
"Udah. Bagas yang bilang."
Santainya cara Rendra menjawab membuat Virgo bengong menatapnya. Rendra yang suka dengan Zifa saja mengatakannya dengan enteng seolah tak cemburu sama sekali. "Kok Kakak nggak bilang?"
"Yang butuh informasi itu kan gue, ya ngapain gue bilang-bilang ke lo? Emang lo yang sering ketemu Zifa baru tahu? Dasar kudet!"
Virgo melirik Rendra dengan sinis. Jawaban kakaknya terdengar menyebalkan. Padahal Virgo sengaja tidak mengatakannya berminggu-minggu hanya demi menjaga perasaan Rendra. Tapi yang dijaga perasaannya malah tidak pengertian sama sekali. Enggak tahu orang lagi dirundung galau saja.
"Bentar …." Rendra beralih menatap Virgo dengan curiga. "Jadi dari tadi lo ngelamunin Zifa?"
Virgo merengut untuk menutupi kebenaran itu. "Ngapain ngelamunin Zifa? Mending juga belajar," dalihnya.
Rendra mendengus. "Biasanya sih kalau sewot berarti bener."
"Kak, mana mungkin sih, adik nusuk kakaknya sendiri?"
"Siapa yang bilang nusuk? Ah, berarti lo beneran—" Rendra tak meneruskan perkataannya melihat tampang Virgo yang sudah sangat keruh. Tak mau membahas hal itu lagi.
Rendra terkekeh geli melihat wajah serius itu. "Iya, deh, adek gue yang baik dan nggak bakal pernah nikung kakaknya dari belakang. Terus lo kenapa termenung-menung kayak orang blo'on gitu?"
Virgo berdesis. Tapi tangannya bergerak masuk meraba-raba tas. Mengeluarkan sebuah amplop putih.
"Menurut Kakak, Igo harus ambil enggak?" Virgo menyerahkan amplop tersebut pada Rendra.
Rendra membuka amplop itu dan membacanya. Matanya membulat mengetahui adiknya dapat beasiswa prestasi untuk kuliah di negeri Sakura.
"Jepang? Lo bercanda? Ambil dong, Go! Ini kan impian lo dari dulu! Mau ketemu Shinichi Kudo sama ngajarin Nobita belajar, kan?"
Virgo mencebik. Tapi apa yang dikatakan kakaknya itu benar. Waktu kecil Virgo selalu bercita-cita bisa ke Jepang biar bisa bertemu Detektif Conan dan Doraemon. Tentu itu cuma impian bocah bau kencur yang masih mengandalkan imajinasi sebagai pembangkit semangat dalam hidupnya.
"Tahun … ini?" Rendra merasa sedikit terhenyak mengetahui hal itu. Padahal dia sangat berharap Virgo bisa menemaninya sampai dia sendiri lulus kuliah. Haha, egois. Tapi lebih dari itu, Rendra memang merasa tak rela dengan kenyataan kalau sebentar lagi Virgo akan meninggalkannya, membiarkannya diliputi sepi dalam rumah sendiri. Ya ampun, berlebihan sekali, kesannya jadi kayak mau pisah dunia aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Valensi [Selesai]
Teen Fictionva·len·si /valénsi/ Kim : bilangan yg menyatakan kesanggupan bersenyawa suatu unsur dng unsur lain @@@ Punya teman dingin seperti Virgo adalah tantangan tersendiri bagi Zifa. Punya teman bengal seperti Zifa adalah mimpi buruk bagi Virgo. Disuruhnya...