Deka

276 24 0
                                    

Virgo tersenyum dalam hati melihat kartu emas di tangannya. Kartu yang kemarin sore dibagikan. Kartu itu adalah kartu tanda keanggotaan tim basket yang baru. Ya, setelah dua bulan diadakan latihan sekaligus penyaringan, Virgo diterima sebagai anggota tim tingkat satu. Jose juga mendapatkannya. Dan sayangnya, Dimas juga diterima. Namun boleh Virgo akui, Dimas memang punya teknik bagus dalam bermain. Apalagi gaya tipunya. Kini tinggal satu tahap lagi. Yakni menuju anggota tim inti basket SMANSA.

Orang yang dia bayangkan ternyata baru dipanggil namanya oleh sang guru. Dimas kipas-kipas dengan lagak sombongnya melewati bangku Virgo dengan kertas ulangannya. Alisnya naik satu, tinggi menantang langit. Virgo melihat nilai cowok pongah itu sekilas. Nilainya sembilan koma, sepertinya mendekati angka sepuluh.

"Nilai teratas dengan angka sepuluh masih diraih oleh anak yang sama. Divano Virgo."

Namun semua anak bergeming. Berbeda dari biasanya yang suka bertepuk tengan dengan suara heboh. Virgo bangkit mengambil hasil pekerjaannya. Ketika kembali, dia sempat melirik Dimas. Dia pikir Dimas akan melayangkan pandangan iri itu padanya. Ternyata tidak. Ya, memang akhir-akhir ini Dimas sudah tak terlalu sering menunjukkan sikap sentimennya ketika melihat Virgo mendapatkan hasil lebih baik. Namun tidak pada mata pelajaran matematika. Cowok itu masih tetap berambisi mengalahkan Virgo.

"Kok nggak ada yang tepuk tangan?"

"Nggak heran lagi sama Virgo, Pak! Hampir semua mata pelajaran dia yang nguasain! Bosen, deh!" celetuk Dimas.

"Wah, Bapak jadi punya julukan buat Virgo!"

Anak-anak berpandangan dan saling mengedik.

"Brewok," kata Pak Sarjono sembari mengelus cambangnya yang agak tebal. Memang benar. Meski Pak Sarjono terlihat garang, tapi kalau sekali melawak bikin perut muridnya sukses teraduk.

Virgo bengong. Merasa harkat martabatnya turun seketika. Apa hubungannya? Sementara anak-anak tergelak mendengarnya. Terlebih Dimas. Cowok itu semakin meracau dengan kelakar yang mengada-ada.

"Waduh, kalau gitu betah banget ya, Virgo nempel di rahang Bapak? Anget banget ya, Vir? Hahaha," seloroh Dimas.

"Oh, tentu. Ini tempat ternyaman buat jadi tempat tinggal. Hotel bintang lima aja kalah."

"Hotelnya kutu sama laba-laba, Pak?"

Galih menyenggol lengan Virgo. Matanya berair saking gelinya. Dia mengelus rahang bawahnya. Lalu mengacungkan jari ke arah guru bercambang itu tanpa menjeda tawanya sedetik saja. Membuat Virgo tambah menekukkan wajah.

Pak Sarjono mengangkat tangan memberhentikan tawa yang tiada henti berderai memenuhi kelas itu. "Jangan salah, lhoh. Brewok itu akronim dari Brain Walking."

"Oh ...," seluruh muridnya manggut-manggut. Seketika mereka beriya-iya menyetujui ide Pak Sarjono. Pasti mulai sekarang mereka akan memanggil Virgo dengan nama itu!

"Sudah dulu, ya? Sekian pelajaran saya hari ini. Silakan kalian belajar lebih giat lagi. Wok?"

Virgo merasa keki dengan nama barunya. "Ya, Pak?"

"Saya harap kamu bisa menularkan otak tokcer kamu ke semua anak. Dan untuk semuanya jangan lupa tugasnya dikerjakan. Selamat pagi."

"Selamat pagi, Pak!"

Sepeninggal guru berkepala lima itu, beberapa anak langsung gaduh menggerombol di sekitar meja Virgo.

"Wok, lihat ulangannya dong!" pinta mereka susul-menyusul dengan kalimat sama.

Virgo memaki geram dalam hati. Apalagi ketika mendengar anak-anak itu memanggilnya 'Wok' sambil terkekeh-kekeh. Apanya yang lucu?! Bikin tambah keki saja!

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang