Heksadeka

242 16 0
                                    

Baru sekarang Virgo sadar, ternyata kepindahan Zifa ke kelas lain bisa membuatnya sehampa ini.

Satu per satu anak mendatangi bangkunya sepeninggal guru yang baru saja mengajar. Menodongkan buku masing-masing sambil merengek minta diajari.

"Bren, ajarin gue yang ini, dong!"

"Ini diakar dulu kan, Bren?"

"Kok jawaban gue beda? Ini apanya yang salah, ya?"

"Bren, telitiin punya gue dong. Si Dab nggak becus banget!"

Difta yang masih duduk di bangkunya, mendengar namanya disebut, hanya balas mencibir.

"Satu-satu, ya?" jawab Virgo dengan tenang seraya menerima buku salah seorang anak.

Dia menghela napas. Bahkan kegaduhan di sekelilingnya tak juga memudarkan perasaan sepi karena rindu celotehan Zifa yang hinggap dalam benaknya.

Semester genap kelas satu itu, Virgo lebih sering duduk bersama Zifa. Awalnya Virgo masih cuek, merasa tidak betah bersama Zifa, sering menyindirnya tajam agar cewek itu diam, dan membuat berbagai peraturan yang harus Zifa taati selama belajar dengannya. Lama-lama aneh juga melihat Zifa yang biasanya mengoceh panjang lebar di setiap jam pelajaran, harus duduk tenang mengunci mulut seraya memperhatikan guru yang tengah menjelaskan materi. Zifa tampak lucu dan manis saat seperti itu. Walau awalnya Virgo berharap waktu cepat berlalu, namun akhirnya dia malah berharap waktu diperlambat. Dia justru berharap waktunya bersama Zifa diperpanjang.

Begitu naik kelas sebelas dan tak lagi berada dalam satu kelas bersama Zifa, barulah Virgo mengerti bahwa persahabatannya dengan cewek itu sangatlah berharga. Dia memang masih sering bertemu Zifa di luar jam pelajaran. Tapi, hei, namanya siswa SMA, pasti lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, kan? Raka bahkan mengatakan kalau anak sekolah zaman sekarang pulang hanya untuk menumpang tidur dan makan, saking sibuknya di sekolah.

Akan tetapi, kehilangan ocehan Zifa di sepanjang pelajaran tak lantas mengembalikan kehidupan Virgo seperti dulu. Masih tetap ada satu orang cerewet yang berisiknya minta ampun. Cowok pula!

Siapa lagi kalau bukan Difta?

Kelas dua ini Virgo duduk sebangku dengannya. Awalnya bersama Galih. Tapi suatu hari setelah pembagian nilai ulangan, tiba-tiba Galih bangkit dari kursi sambil menenteng tas. Waktu Virgo tanya kenapa, dengan rengutan di wajah, Galih bilang dia taruhan nilai dengan Difta. Di belakangnya Difta berdiri sambil nyengir kuda. Dan dengan pasrah juga Virgo menyambutnya.

Dia adalah cowok paling rame yang pernah Virgo kenal. Tiap guru bicara apa, sudah pasti Difta akan langsung mengoceh. Menyangkut pautkan apa saja yang gurunya katakan dengan apa yang pernah dia alami, entah itu fakta atau bualan belaka. Tak jarang Virgo memperlakukannya seperti Zifa, menyuruhnya diam dengan lirikan yang lebih mematikan. Lalu setelahnya, Virgo akan merasa bersalah, kemudian memberi Difta setengah bekal makannya. Begitulah siklusnya.

Virgo menegakkan tubuh. Membayangkan Zifa, dia jadi teringat makalah LKIR yang belum diprint. Maklum, sahabatnya itu turut membantu mengetikkan bahan-bahan makalahnya di rumah. Dia menilik arloji di pergelangan kiri. Bu Supriyanti hanya memberikan waktu istirahat pertama untuk mengumpulkan. Dan sekarang, berjalan lima menit waktu istirahat pertama.

"Emh, aku mau keluar sebentar."

Semua yang ada di sekitar sana hanya mengernyit heran mengamati Virgo yang tampak terburu-buru. Cowok berkacamata itu masih sama misteriusnya seperti dulu.

"Bren, tungguin gue!" Difta berlari menyusulnya.

***

Kebetulan dua mesin print di koperasi sekolah sedang dalam perbaikan. Jadi Virgo harus keluar sekolah untuk mencetak makalahnya. Memang bukan hanya di koperasi mesin itu berada. Di tiap ruang-ruang penting seperti ruang guru, laboratorium, komputer, kesiswaan, bahkan BK sekali pun. Tapi mana ada murid yang berani mencetak tugas pribadi di sana? Bahkan Virgo yang notabenenya anak emas para guru.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang