Oktadeka

251 15 0
                                    

Virgo memicingkan mata ketika Zifa berbalik arah padanya. Mukanya terlihat hitam seperti siluet, membelakangi cahaya mentari yang telah condong ke arah barat. Baru ketika cewek itu sampai di ambang gerbang, Virgo dapat mengambil kesimpulan. Wajahnya suram, sudah pasti hasilnya nihil.

Beberapa hari belakangan ini mereka ke rumah Dimas. Berkali-kali tiap pulang sekolah. Sampai Zifa dan Virgo kadang harus izin dari ekstrakurikuler yang mereka ikuti. Namun tak pernah membuahkan hasil. Bukan karena Dimas yang bertindak seenaknya seperti ketika itu. Lebih parah, Dimas tak pernah pulang ke rumah. Setidaknya, itulah penuturan dari pembantu-pembantu Dimas. Mereka tidak tahu putra majikannya pergi kemana. Mereka bilang sudah berkali-kali mencoba menghubungi Pak Jaya-ayah Dimas. Akan tetapi pria itu tak pernah bisa dihubungi lewat media apapun. Dimas mau pun ayahnya seolah menghilang ditelan bumi dari kehidupan mereka. Kadang mereka kebingungan harus bagaimana mengetahui tak ada lagi orang yang harus dilayani. Tapi pergi tanpa pamit pun juga tak dapat mengobati kebingungan mereka. Mereka butuh pekerjaan, dan dengan bekerja di rumah besar tersebut mereka merasa lebih dapat mencukupi kehidupan keluarganya di kampung.

Oke, sepertinya curahan hati para pelayan di rumah Dimas yang mereka ceritakan pada Zifa ini melenceng jauh dari topik.

Intinya, Dimas pergi dari rumah. Tak ada seorang pun yang tahu kemana Dimas pergi. Tak ada yang bisa dilakukan selain bertanya pada ayah Dimas, sementara pria itu juga tak diketahui keberadaannya.

Sekarang?

"Fa, Dimas mungkin udah pergi ke tempat yang menurutnya nyaman."

Tak terhitung juga, sudah berapa kali Virgo mengatakan ini. Zifa yang terlalu yakin Dimas pasti akan kembali membuatnya tak henti-henti mengharapkan kepulangan sahabatnya sejak kecil itu. Dia pikir Dimas akan menyesal telah pergi dari rumah megahnya, meninggalkan segala hal yang dia miliki di sini. Dengan penuh percaya diri Zifa selalu bilang, Dimas tak mungkin betah tinggal di luar sana, dia tak mungkin betah memendam rindu pada dirinya.

Tapi enam hari sudah cukup menjawab semuanya. Enam hari cukup membuat Zifa lelah, cukup membuatnya percaya sampai akhirnya menyerah. Mungkin Dimas memang tak lagi membutuhkan apa-apa lagi di sini. Termasuk dirinya.

Ah, kalau sedang putus asa, Zifa merasa telah menjadi orang tak berguna.

"Ayo, pulang." Kakinya bergerak melipar standar. Menegakkan sepeda. Akan tetapi Zifa masih diam di tempat dengan wajah lesu. Menatap penuh harap ke arah istana Dimas. Seolah berharap Dimas muncul tiba-tiba. Menghampirinya.

Virgo memandanginya lekat-lekat. Sedih rasanya melihat Zifa demikian. Virgo jadi iba. Tapi dia bingung harus bagaimana menghiburnya. Masih tersisa perasaan jaim, untuk bersikap bodoh hanya demi membuat Zifa tertawa. Apa yang bisa Virgo lakukan?

"Fa, biarin Dimas nentuin pilihannya. Aku nggak bisa jamin. Tapi yang penting aku percaya Dimas bakal baik-baik aja di luar sana."

Bahu Zifa melorot. "Gagal rencana gue buat ninggiin badan pake renang gratis," omelnya di balik badan.

"Di kolam belakang rumahku juga gratis lhoh, Fa ...."

Zifa berbalik tiba-tiba. Bukan cengiran yang Virgo dapat. Cewek itu justru merengut.

"Nggak usah ngelawak deh, Vir! Lo tuh nggak bakat!"

Virgo yang tadinya tersenyum langsung mendatarkan wajahnya kembali. "Ya udah, nggak usah bawa-bawa tinggi badan. Kamu udah ideal, kok."

"Ideal dari jaman Gatot Kaca?! Gue cuma sedagu lo, Virgo ...."

"Jadi kamu sahabatan sama Dimas cuma buat manfaatin kolam renangnya aja?"

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang