Di

738 46 2
                                    

Ini pagi ke empat kursi ruang makan keluarga berkacamata itu akan terisi penuh. Menambah topik percakapan. Menambah kehangatan. Semenjak enam tahun berpisah jarak, akhirnya mereka kembali berhadapan satu sama lain. Tinggal bersama lagi. Devina sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Raka masih bersiap-siap di ruang sebelah. Sementara kedua anaknya sudah duduk manis menunggu pengisi perut mereka memenuhi meja. Biasanya Rendra ikut membantu Devina memasak, yang mana ini memang merupakan hobinya. Tapi dari pertama duduk dia hanya sibuk mengoceh di depan Virgo yang tengah membenahi seragamnya. Sok-sok memberi petuah-petuah di hari pertama menjalani masa orientasi yang tak pernah diikutinya karena selalu dapat dispensasi.

"Kalau udah mulai sekolah biasa, gue saranin, lo ikut SMANSA Charity. SC bergerak di bidang sosial. Baksos ke panti asuhan, ke SLB, blusukan sambil bagi-bagi uang ke orang yang membutuhkan. Dan yang paling asyik, ke kelas yang SMANSA buat khusus untuk ngajarin anak-anak jalanan belajar. Gue aja nyesel cuma ikut waktu kelas tiga." Dia melirik ibunya, memastikan Devina tak akan mendengar.

"Gara-gara Bunda," bisiknya seraya memasang tangan di tepi mulut.

Virgo tersenyum simpul menanggapi Rendra. Dari tadi hanya seperti itu. Kalau tidak menjawab singkat, berdeham, mengangguk, ya tersenyum tipis. Seingatnya, Rendra belum menggunakan pronomina gue-lo sebelum dia datang ke Jakarta. Bahkan mereka masih sering menggunakan bahasa Jawa. Rasanya seperti kedengaran tak enak di telinga Virgo.

"Hayo, bisik-bisik apa!" tegurnya ketika meletakkan semangkuk sop di meja. Rendra terkekeh jengah tertangkap basah oleh ibunya.

"Wah, anak-anak Ayah udah necis banget!" Raka datang menyampirkan jas putihnya ke sandaran kursi. Duduk di sebelah Virgo. Wajahnya cerah bersinar, seperti biasa. Melihat ada perbedaan pada Virgo, Raka menarik topi anaknya tersebut.

"Igo kayak pak tentara. Tahu jadi ganteng gitu, Ayah sekolahin di sekolah wajib militer aja, ya?" gurau Raka melihat rambut Virgo yang entah dari kapan sudah dipangkas tipis. Virgo yang mendadak jadi malu langsung merapatkan topinya lagi.

"Ini sih bukan pak tentara. Lebih mirip kaktus bola!" Rendra terkekeh.

"Udah bercandanya. Sekarang sarapan dulu," Devina duduk di samping Raka. Mengambilkan nasi untuk suami dan anak-anaknya.

Tak lama kemudian piring dan sendok mulai beradu di atas meja bersamaan dengan percakapan ringan yang memperhangat suasana. Sayangnya kehangatan itu tak berlangsung lama ketika waktu harus menghentikan semuanya.

"Nanti siang jangan sampai lupa minum obat, ya? Pokoknya Bunda bakal sms Bagas buat ngingetin kamu!" titah Devina pada Rendra seraya membenarkan kerah kemeja putranya tersebut. Lantas mencium kening dan membelai rambutnya yang halus. Rendra melangkah masuk ke mobil.

Virgo yang tengah mematung di teras jadi agak merasa cemburu melihat Devina yang begitu sayang pada Rendra. Ah, lagi-lagi perasaan ini. Jangan iri, Go! Kamu udah besar!

Dulu, setahu dia, di mana-mana namanya anak bungsu itu selalu yang paling disayang oleh orang tua. Tapi tidak dengan dirinya. Devina dan Raka lebih menyayangi Rendra. Lebih perhatian padanya. Bahkan itulah alasan utama Virgo menolak ketika dia ditawari untuk tinggal di sini enam tahun lalu. Semuanya selalu lebih menyayangi Rendra. Makanya ketika Rendra ikut dengan ayah ibunya, Virgo memilih tinggal bersama nenek. Dia pikir dengan begitu dia akan mendapat kasih sayang yang lebih. Nyatanya, sekecil apapun kasih sayang yang kedua orang tuanya berikan tetaplah paling ampuh membuatnya rindu. Yang mana telah menjadi alasannya pindah kemari.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang