Pentakosa

265 15 0
                                    

Lagi-lagi buku latihan soal itu hanya teronggok di meja. Tak terjamah oleh mata empunya tugas sama sekali sejak membuka buku tersebut. Pikirannya melayang pada cerita Jihan dalam mading itu. Virgo bahkan hampir ingat betul detail alur, sampai hapal beberapa kalimat yang tertuang, terutama kalimat terakhir.

…. Ia hanya gegabah, terlalu memikirkan kecemburuan semata. Sampai lupa, bahwa semua hal yang tak diputuskan secara matang akan selalu berakhir kekecewaan.

Apa benar cerita itu untuknya? Tapi kurang kerjaan sekali seorang Jihan membuat cerpen hanya untuk menyinggungnya. Apa gunanya coba?

Dan apakah benar pula, bahwa nantinya Virgo akan kecewa karena bukan hanya dengan alasan impian dia mengambil beasiswa, melainkan juga karena Zifa?

Dering ponsel yang mengudara segera memecahkan segala pemikiran konyolnya. Nama Difta muncul dalam layar.

"Halo? Ada apa, Dif?" tanya Virgo ogah-ogahan. Sayangnya dia salah bersikap demikian pada Difta. Teman sebangkunya itu tak akan peduli dengan apapun cara Virgo memberi isyarat bahwa dia sedang tak mau diusik, entah lewat tindakan atau sikap.

"Lo … beneran mau ngambil beasiswanya tahun ini, Bren?"

Virgo cukup tahu kalau Difta adalah satu-satunya orang yang tidak mendukungnya mengambil beasiswa lebih cepat. "Kamu mau ngotot sampai kapan pun, aku bakal tetep ambil, Dif." 

"Ya elah, Bren. Indonesia butuh generasi penerus kek elu …."

"Ya kalau aku udah selesai, aku juga bakal pulang ke sini lagi lah, Dif."

"Lhoh, emang lo mau, ketika lo udah kuliah di sana, terus lo yang jadi perwakilan sana tiap kali ada olimpiade, ngelawan negara lain termasuk negara lo sendiri?"

Virgo tertawa sinis. "Dif, aku kasih tau, ya. Yang lebih pinter dari aku itu banyak. Aku cuma belajar aja sambil nambah pengalaman. Kamu tuh, apaan sih? Kalau mau nelepon buat ngomongin hal yang nggak berguna, mending nggak usah. Sayang pulsa kamu. Aku lagi belajar buat persiapan ujian sekolah."

"Lo enggak peka banget sih, Bren?!"

Virgo berdecak. Yang enggak peka tuh siapa, juga?

"Maksud kamu?"

"Bren, yang butuh lo tuh banyak di sini. Jangan egois, dong!"

Virgo tidak marah dibilang 'egois'. Dia sadar benar dirinya memang begitu.

"Terus apa hubungannya, Diftanu Ahmad Bahari?"

"Ya–lo, kan, pinter! Pikir aja sendiri!"

Alis Virgo tambah menyatu karenanya. Difta sebenarnya lagi ngomongin apa, sih? Enggak jelas banget itu anak!

Tak Virgo tahu, kalau di seberang sana, Difta pun tengah menggoblokkan dirinya sendiri. Dia mengacak-acak rambutnya. Bingung mau mengatakan hal seperti apa lagi untuk mengarahkan Virgo pada sebuah pembicaraan yang diam-diam dia kupingi sore tadi—antara Zifa, Jihan, dan Winda di belokan koridor gedung IPA, tanpa mengatakannya secara langsung. Kalau saja bukan karena hal tersebut, dia pasti sudah tidak perlu lagi menghalang-halangi Virgo menuju impiannya. Tapi Difta yang Virgo pikir tak pernah peka, diam-diam pun sama seperti Jihan—dapat membaca segala maksud dari tindakan sahabat sebangkunya itu. Terlebih pada Zifa yang selalu dia beri kepedulian lebih besar dari yang lain. Kalau dipikir, tidak masuk akal Virgo tak punya rasa spesial terhadap Zifa mengingat segala sifatnya yang begitu dingin.

"Dif, aku nggak bakal egois kalau seandainya—" Virgo berhenti bicara. Dia menengok ke arah Rendra yang telah tertidur pulas di ranjangnya. "Keadaan juga nggak bikin aku begini."

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang