Okta

272 24 1
                                    

Virgo terperangah sesampainya di depan gerbang rumah Dimas. Rumah itu tak bisa disebut rumah sama sekali. Tapi istana megah! Rumah Dimas sangatlah luas. Ada satu hektar mungkin. Halamannya pun luas sekali. Diselimuti lantai paving dan rerumputan yang terpangkas rapi. Taman-taman asoka dan bunga-bunga lili yang kelihatan seperti labirin tersebar di kiri-kanan. Beberapa dibentuk seperti burung. Sangat hijau, rumah Virgo di Jogja pun kalah. Pantas saja Dimas selalu diantar-jemput ke sekolah. Perlengkapan bermerk. Ternyata anak orang kaya. Kekayaannya pasti tak main-main.

"Silakan masuk, Non, Den," seorang wanita menyambut mereka dengan penuh kehangatan begitu sang satpam penjaga gerbang membukakan gerbang putih itu.

"Yuk, Vir!"

"Mari biar saya antar menemui Tuan Muda."

Zifa masuk terlebih dahulu dibimbing wanita itu. Virgo membuntut di belakang.

Cowok itu membenarkan letak kacamatanya. Lalu menoleh ke sana kemari. Terkagum-kagum dengan halaman rumah Dimas. Ternyata di kedua sisi ada pula kolam ikan dan juga air mancur.

"Bokap Dimas itu pengusaha sukses, Vir. Jadi nggak perlu heran," bisik Zifa.

Dia tak menghiraukan kalimat Zifa. Pikirannya sibuk pada sebab kenapa Dimas menjadi anak seperti itu. Yang sombong, manja, merasa selalu bisa, dan tak mau kalah. Ternyata dia punya apapun yang dia inginkan.

"Maaf. Sepedanya bisa diparkir di situ saja," wanita itu berhenti. Jempolnya menunjuk ke arah tempat parkir di sisi jalan yang mana langit-langitnya tertutupi tumbuhan merambat.

Kedua anak itu menurut. Mereka meletakkan sepedanya. Dan berjalan lagi mengikuti wanita tersebut.

Mereka berdua dituntun sampai ke sebuah ruangan yang begitu terang oleh karena dua sisi dindingnya hanya terdiri dari lapisan kaca besar. Hampir sama seperti kamar Virgo. Hanya saja yang ini mulus kaca, tak berpintu. Menampakkan halaman di luar sana yang berupa kolam renang luas dan taman bermain kecil berisi ayunan dan perosotan.

"Udah sampai kalian!"

Kedua anak itu menoleh ke sumber suara ketika wanita yang tadi mengantar mereka mundur dari hadapan. Dimas berjalan membawa seperangkat alat lukis dalam goodie bag besar. Lantas meletakkannya di atas karpet tebal dan mengeluarkan semua isinya.

"Nih, mau pakai yang mana, terserah." Ada buku gambar besar, kuas, palet, pensil warna, cat air, cat minyak, krayon, semuanya tersedia.

Virgo berdecak dalam hati, tak habis pikir melihat kelakuan 'saingan'-nya itu. Semua alat lukis itu kelihatan masih begitu baru. Dasar tukang boros, batinnya. Padahal, alat-alat itu paling hanya dipakai sekarang untuk kerja kelompok saja.

"Tema poster kita tentang kebakaran hutan. Lo mau yang mana di antara gambar ini?" Dimas memperlihatkan tab-nya pada Virgo. Deretan gambar poster tentang kebakaran hutan berjajar di sana, bervariasi.

"Aku sudah buat sketsanya semalam." Virgo mengeluarkan buah kreativitasnya yang dia buat menjadi sketsa dalam kertas gambar kecil. Ada bumi yang memiliki wajah kebingungan dengan tangan memegang kepalanya yang hijau berasap. Di sebelahnya barisan rokok mengintip dari kotak wadah, salah satunya sudah keluar dengan ujung terbakar, mereka semua tertawa melihat bumi. Cukup menarik.

"Jelek. Yang ini aja." Dimas menge-klik sebuah gambar. Jelas saja lebih cantik dan menarik perhatian. Gambarnya saja sudah jadi.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang