Dokosa

220 20 2
                                    

"One two, three four, five six, seven eight. One two, three four, five six, seven eight."

Terdengar suara Felma yang menggema di dalam ruang latihan. Zifa mengintip lewat jendela. Semua anak sudah berada di dalam sana, sudah memasuki pemanasan bagian kaki. Dia meringis. Untuk yang ke sekian kali dia terlambat mengikuti pemanasan.

"Telat lagi, ya?" tanya Dika sambil ikut-ikutan mengintip lewat jendela. Cewek yang memmpin pemanasan di sana tanpa sengaja mendapatinya tengah menguntit.

"Iya, Dik. Ifa masuk dulu, ya? Nanti Ifa bareng Virgo, jadi Didik nggak perlu nunggu."

"Oke, kalau gitu aku mau langsung rapat MPK. Udah telat juga ini kayaknya." Dika mengacak-acak rambut Zifa dan melambaikan tangan.

"Dah, Didik!"

Dika menoleh dan menerbangkan kecupan yang langsung Zifa tangkap, kemudian dia pura-pura menanamkannya dalam hati. Tersenyum singkat dan langsung melangkah dengan tergesa ke dalam ruang latihan.

"Elah, telat mulu sih lo, Fa?"

Zifa nyengir ke arah Tasya.

"Zifa pemanasan sendiri, ya!" Felma berteriak di sela-sela hitungan.

"Oke, Fel."

Zifa melepas sepatu dan memasukkan tas ke dalam loker. Lalu berdiri di depan lemari dan memulai pemanasan sendirian.

Usai pemanasan berakhir, kumpulan anak-anak itu berpencar dan berlatih dengan bagiannya masing-masing. Sementara Zifa baru saja sampai di bagian peregangan otot lengan. Gerombolan Cintya mendekat ke arahnya. Zifa sempat agak tidak enak melihat tatapan meremehkan yang Ardin layangkan padanya. Tapi sebisa mungkin Zifa menghapus nethink-nya dan meneruskan pemanasan. Paling-paling karena sedang PMS, semuanya jadi terasa menyinggung hatinya.

"Eh, Fa. Lo kok jadi nggak pernah hang out bareng kita lagi, sih?" Mikaela bertanya dengan raut muka yang tidak mengenakkan.

"Nggak punya uang, ya?" semprot Okta sekenanya. Cewek itu memang punya bibir paling tajam di antara yang lain. Perlahan kesabaran dalam diri Zifa runtuh.

"Ya iyalah. Kerjaannya aja ngutang sama gue mulu." Cintya yang tengah bercermin di depan loker menyempatkan mulut yang tengah dia poles dengan lipstik untuk mengutarakan olokan.

"Gue pernah denger dia dimarahin Bu Erni, gara-gara nilai-nilai dia jelek mulu," Lisa berkata sambil tersenyum remeh.

"Kebanyakan mikir utang, sih ...," Ardin tambah mengompori Zifa.

"Tapi kok kemarin UAS dapet ranking dua puluh, ya? Nggak terakhir gitu ...," ejek Okta.

Zifa yang tak sabar lagi akhirnya menegakkan tubuh. Tangannya mengepal erat. Marah mulai merampas ketenangannya.

"Makanya kalo nggak bisa ngimbangin kita, nggak perlu masuk geng kita! Ngancurin reputasi aja!" ujar Cintya. Mereka kini melayangkan pandangan menghina ke arah Zifa.

"Eh, jaga ya bicara kalian?!" gertak Zifa sampai suaranya memantul ke tiap sudut ruang. Semua anak yang tengah berlatih terdiam seketika mendengar keributan itu. Felma segera mendekat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Bener, kan? Nilai lo yang sekarang bagus, palingan juga hasil kepetan!"

Zifa mendorong Okta sampai cewek bermulut harimau itu terjengkang ke lantai. Bisa-bisanya dia mendakwa tanpa bukti seperti itu. Ardin dan Lisa segera menolongnya.

"Fa, udah, Fa. Udah." Felma yang telah berdiri di samping Zifa mencoba menahannya. Akan tetapi Zifa yang sedang dikuasai emosi langsung menyingkirkan badannya dengan keras.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang