Dodeka

351 23 0
                                    

Barangkali dunia memang sedang tidak berpihak pada Dimas. Ditunjuknya dirinya sebagai cadangan Virgo seolah menjadi masalah yang begitu berarti. Merisaukan hati. Mungkin berlebihan, tapi setidaknya begitulah yang Dimas rasakan. Meski di sisi lain Zifa telah membuatnya memperoleh banyak dukungan dan simpati, dia tetap merasa seolah-olah menjadi makhluk paling rendah di dunia ini.

Priitt ...

Permainan berhenti begitu Pak Ratno membunyikan peluit. Dimas terbangun dari lamunannya.

"Dimas! Kamu keluar! Virgo, masuk!"

Sepertinya itu gara-gara Dimas. Dari tadi dia tak sungguh-sungguh saat bermain. Yang ada dalam pikirannya hanyalah masalah itu. Mengganggu sekali.

Dimas kemudian duduk beristirahat di tribun. Bersandar sambil menggagapi botol minumnya. Ah, Dimas lupa! Air minumnya sudah habis. Dia menoleh ke belakang. Oh iya, Dimas lupa lagi! Zifa tak ada di tempat biasa dia menunggu Virgo. Katanya mau diajak jalan Bagas, makanya dia sudah pulang lebih dulu. Padahal belum lama dia bertemu Zifa. Namun rasa rindunya pada sahabat yang selalu menghiburnya itu sudah begitu menggelayut.

Yah, barangkali Dimas memang sedang diuji untuk bersabar dan melewati kesendirian. Tunggu, bukankah Dimas memang sedang ingin sendiri? Bukankah dia ingin seperti Virgo yang dengan kegemarannya menyendiri justru membuatnya didatangi banyak orang?

Tiba-tiba seseorang menyodorkan sebotol minuman padanya.

"Muka kau kenapa, Dimas? Jelek sekali," seloroh si cowok berkulit hitam.

Benar bukan? Dimas jadi didatangi oleh seseorang. Baru sa-tu-o-rang.

Jose mendaratkan tubuh di sebelah Dimas. Mereka berdua sudah lama bermaafan sejak insiden hari pendaftaran. Meski demikian, hal itu tak lantas membuat mereka menjadi teman dekat. Masih tetap ada dinding yang seakan terbentuk di antara kedua anak itu.

"Thank's." Dimas menerimanya dan langsung meminumnya.

"Akhir-akhir ini kau jadi pendiam, e?"

Dimas menaikkan kaki dan melipatnya di atas lutut. "Cuma lagi pengen coba jadi pendiem." Matanya melirik ke arah Virgo yang berhasil memasukkan bola ke ranjang lawan. Cowok itu sedang berhigh-five bersama timnya. Senyum sinisnya mekar. Membuat Dimas ragu sejenak. Pelik rasanya Virgo menyambut kemenangan dengan senyum seperti tadi. Ataukah memang selalu seperti itu cara Virgo tersenyum, bahkan disaat senang sekali pun?

"Mamaku pernah bilang to, jangan pernah mau jadi orang lain hanya karena kau lihat orang itu lebih beruntung. Kau punya keberuntunganmu sendiri. Hidup itu mudah, Dimas. Jangan kau persulit dirimu sendiri."

Pritt ...

Kali ini Pak Ratno menyuruh semuanya berkumpul.

Dimas menatap tak mengerti ke arah Jose yang sedang tersenyum penuh makna. Dia pikir Jose pasti cuma sok tahu perihal masalahnya. Tapi kenapa bisa pas sekali dengan keadaannya saat ini? Dimas memang sedang mencoba menjadi seperti Virgo. Pendiam, sulit diajak bergaul dan memilih menyendiri, tidak terburu menjawab soal bu Dani, belajar tiada henti-meski untuk yang terakhir pendapat Dimas mengenai Virgo ini sudah patah. Dia ingin mencoba bagaimana rasanya menjadi cowok yang selama ini selalu mengalahkannya dalam banyak hal. Namun dia belum menemukannya. Atau mungkin Dimas saja yang terlalu memaksakan diri untuk mencari.

Semua anak berbaris menjadi satu. Pak Ratno sudah menunggu dengan papan untuk menulis di depan. Wajahnya kelihatan sangat tegas.

"Latihan barusan saya jadikan seleksi untuk turnamen persahabatan Sabtu depan. Kemungkinan akan saya ubah lagi untuk tingkat provinsi yang diadakan setelah UAS. Jadi lain kali tolong lebih disiplin dan sungguh-sungguh dalam berlatih."

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang