Heptadeka

258 18 0
                                    

Berita drop-outnya Dimas dari sekolah serupa listrik menyambar konduktor. Kabar tersebut telah merebak ke seluruh telinga warga SMANSA. Bahkan seolah menjadi hot news di mana-mana. Bagaimana tidak? Siapa sih, yang tidak mengenal Dimas? Cowok tukang rusuh tapi jago matematika itu?

"Awas, awas!"

Zifa melangkah di tengah kerumunan anak yang baru saja selesai upacara. Berniat pergi ke kelas Virgo sebentar untuk menanyakan perihal sebenarnya mengenai dikeluarkannya Dimas dari sekolah. Siapa tahu, kan, itu hanya isapan jempol anak-anak tukang sirik semata?

Namun tiba-tiba saja sosok cowok yang tidak kalah konyol dengannya berdiri di hadapan. Cowok yang akhir-akhir ini membuat status kedekatan Virgo sebagai sahabat terkalahkan. Dia nyengir kuda.

"Hai, Ifa!"

Dika diam-diam belajar dari Bagas tentang Zifa. Banyak. Sampai panggilan Zifa dari kedua orang tuanya yang dia gunakan sebagai kata ganti 'aku' di rumah pun dia pakai juga untuk memanggil cewek itu.

Zifa tak mengerem langkah selambat apapun. Dia malah mendorong Dika yag tiba-tiba muncul di depannya. Menerobos cowok yang telah menghalangi jalan Zifa tersebut sambil berkata, "Bentar, Kak! Ada urusan!"

Dika mencebik. Padahal, kan, dia ingin mengatakan sesuatu.

"Dab! Dab!" Kepala Difta yang khas dan sangat familiar di penglihatan Zifa kebetulan tengah celingukan di ambang pintu kelas.

"Mau ape?" tanya Difta dengan ketus sambil merengut. Zifa yang selalu membuat masalah tiap ada di sekitarnya membuatnya sedikit was-was.

"Ya elah, tuh muka biasa aje, kali!" Zifa balas menyemprot. "Si Bren mana?"

"Dalem!"

Tanpa pikir panjang lagi Zifa mendorong kasar tubuh Difta hingga badannya hampir terjengkang ke lantai.

"Lo jadi cewek kasar banget, sih! Sama cowok tuh yang lembut! Mau lo, masuk neraka gara-gara laki lu kagak ridho?!"

"Itu kalau laki gue elo, Daaaab."

Bahu Difta nergidik seketika. Ngeri. Mana mau dia punya istri macam Zifa. "Idih, amit-amit, kagak sudi gue punye bini kek elu!"

"Virgo!" Teriakannya menarik seluruh perhatian di dalam kelas. Tatapan jengkel yang mereka tujukan. Meski pun Zifa itu disenangi banyak anak karena baik dan ramah pada semua orang, tapi kalau sifat hiperaktifnya sudah kelihatan, tetap saja menjengkelkan.

Orang yang dipanggil namanya sedang minum air putih saat Zifa datang secara mengejutkan. Dia terbatuk, tersedak. Zifa malah menutup bibir yang hendak terbahak. Cowok itu langsung berdiri mengambil tisu dalam saku, tisu yang sebenarnya dia siapkan untuk membersihkan kacamata sewaktu-waktu. Lantas mengelap tetes-tetes air di meja dan berulang kali melayangkan pandangan kesal ke arah Zifa. Sedongkol-dongkolnya Virgo, dia paling hanya melirik orang yang membuatnya demikian dengan tatapan membunuh. Karena sebenarnya bukan gaya Virgo untuk membentak, apalagi mencak-mencak.

"Jangan teriak-teriak, Fa," tuturnya halus.

Sambil meringis, Zifa segera duduk di sebelah Virgo, menghadap ke cowok yang sedang duduk itu. "Dimas beneran di DO? Kok bisa, sih? Dia bukannya udah ditunjuk buat maju ke ASEAN, ya?"

"Kalau orangnya emang nggak peduli mau diapain lagi? Dia juga udah bolos empat hari berturut-turut," terangnya ogah-ogahan. Dia malas membicarakan orang yang membuatnya sakit hati beberapa hari terakhir ini karena tak pernah mau ambil peduli dengan perkataannya.

"Bukannya kalau cabut cuma masuk BK, ya? Ini Dimas, lhoh. Nggak adil banget!"

"Fa, Dimas itu udah banyak ngelanggar aturan. Aku udah bilangin dia berkali-kali, tapi dia nggak mau dengar. Pintar, iya. Tapi kalau sikapnya nggak bener, sama aja. Lagian bukan dengan alasan Dimas itu sudah mengharumkan nama sekolah, terus Dimas dilindungi dari hukum. Itu lebih nggak adil," tegasnya dengan ekspresi marah yang lebih kentara di wajah datarnya.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang