Tetra

369 27 0
                                    

Matahari mulai menyingsing tinggi saat seluruh anak berseragam biru putih itu tengah berbaris rapi di lapangan upacara. Wajah mereka tampak tegang. Namun riasan konyol yang memenuhi tubuh mereka membuat beberapa cowok yang memang terkenal dengan sikap santainya menahan tawa.

Bagaimana tidak?

Untuk cewek. Kuncir sesuai tanggal lahir dengan tiap ikatnya ikatan tunggal dan pita warna-warni. Yang lahir tanggal satu sih enak. Nah yang lahirnya tanggal 31? Topi menggunakan setengah bola plastik bertali sepatu warna pink menyala. Sabuk rafia kepang empat. Kaos kaki warna merah biru. Tas kain segitiga biru. Tak lupa papan nama persegi panjang yang terbuat dari karton. Dengan nama-nama aneh yang bervariasi sesuai dengan jurusan yang diambil dan pembagian nama dari kakak kelas. Anak IPA kebanyakan diberi nama bakteri, sementara anak IPS diberi nama manusia purba.

Yang cowok. Untuk perlengkapan yang dipakai sama. Hanya saja gaya rambut yang berbeda.

"Yang cowok, silakan buka topi kalian!" Orion-sang ketua OSIS yang kerap disapa Ori bersuara dari balik toa.

Para kaum Adam membuka topi bola masing-masing. Hampir seluruh dari mereka berpotongan sama. 3-2-1. Ada beberapa yang terlihat tengok kanan-kiri dengan wajah harap-harap cemas dan tangan yang bergerak begitu lamban menyentuh topi. Pasti lupa potong rambut!

Seorang kakak kelas cewek yang kebetulan lewat dan melihat salah satunya pun lantas tersenyum sinis.

"Ada yang banci, Kak! Nggak mau lepas topi!" sindirnya telak. Si cowok yang barusan berlagak seperti orang linglung itu akhirnya mencopot topi dengan pasrah. Wajahnya yang menunduk pucat pasi. Benar saja. Ujung rambutnya bahkan hampir mencium kerah.

Dimas yang berdiri di barisan belakang melepas topi dengan santainya. Bukan karena gaya rambut sesuai. Mungkin malah bunuh diri dia.

"Oke, yang merasa rambutnya tidak sesuai dengan peraturan, silakan buat barisan di depan!"

Cowok-cowok pelanggar aturan itu maju ke depan. Membuat barisan panjang. Termasuk Dimas. Dia justru kelihatan sangat santai di sana. Padahal sudah terlihat jelas kalau kakak-kakak pengampu yang berlalu-lalang di depannya itu membawa gunting dan sisir rambut. Mampus!

"Silakan salah satu dari kalian jawab, kenapa tidak potong rambut!" Suara dan raut wajah Ori memang tak terlihat sedang marah. Namun tentu anak-anak tahu kalau itu hanya sebagian kecil dari kebiasaannya, bukannya untuk main-main semata. Terlepas dari hal itu, kalimatnya pun tajam, meski tersirat.

"Lupa, Kak," jawab salah satu anak dengan lirih.

"Yang di belakang dengar?"

"Enggak, Kak!!" jawab mereka serempak.

"Bicara yang keras, Dek! Kamu cowok, bukan?"

"LUPA, KAK!"

"Ha? Lupa? Sudah berkali-kali kami kasih tau. Dengan sepelenya kalian jawab lupa? Masih kecil kok udah pikun," olok seseorang di belakang barisan pelanggar aturan itu.

"Kebanyakan micin, Kak!" sahut salah seorang kakak kelas. Bermaksud menyindir.

"Nggak ada waktu, Kak!" Seorang siswa baru kembali angkat suara.

"Kemarin Minggu kalian ngapain aja? Hibernasi?!"

"Atau kalian sengaja nggak potong rambut biar kelihatan keren? Rambut kalian keren, oke, tapi kalau kalian ngelanggar aturan, sama aja kalian itu cemen!"

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang