Heksakosa

296 15 0
                                    

"Ganti!" dengus Hendri, seorang cowok bermata panda yang satu kelas dengan Zifa, dengan raut wajah kesal.

Zifa dan Dika berganti pose di depan layar yang melatari podium acara kelulusan. Yah, tak terasa waktu telah mengantarkan Dika sampai ujung perjuangannya di jenjang sekolah menengah ini. Membuatnya menyadari hal yang sangat umum terjadi; seolah baru kemarin masuk SMA, naik kelas dua, bertemu Zifa, dan menembaknya di mall. Dia sebenarnya tak begitu rela lulus mendahului Zifa. Sayang, perbedaan setahun harus memisahkan mereka sampai titik ini.

Pasangan itu belum juga mati gaya, hingga tak menyadari bahwa Hendri sudah muak berdiri begitu lama hanya untuk memotret sepasang pacar tersebut.

"Udah aja, Fa. Hendri udah sepet banget, tuh."

"Bentar, bentar! Sekali lagi. Didik duduk, dong. Eh, jangan! Jongkok kesatria aja!" Zifa menekan kedua pundak Dika ke bawah untuk menjongkokkannya ala kesatria. Atau lebih tepatnya cowok yang berlutut dengan satu kaki untuk menyatakan cinta di hadapan ceweknya. Zifa menaruhkan bunga di tangan Dika untuk digenggam. Lalu dirinya sendiri bertindak seperti seorang putri yang  tengah menerima bunganya dengan gaya angkuh.

"Thank's, Hendri!"

Hendri berdeham mengiyakan. Cowok itu segera mengambil helm di atas kursi dan pergi dari gedung serba guna sekolah yang begitu luas tersebut.

"Didik lihat Virgo nggak, sih? Ifa udah jarang banget lihat dia. Mentang-mentang mau lulus duluan. Enggak tau dikangenin dia. Pengin, deh, foto bareng di sini."

Dika tersenyum tipis. Baru kecemburuan merasuki hati tatkala Zifa membicarakan sosok cowok lain yang dia rindukan. Mungkin ini karena efek akan berpisah sekolah dengan Zifa atau bagaimana. Takut kalau Zifa akan lebih tertarik pada yang lain.

"Didik enggak lihat Virgo. Maaf, ya. Bukannya Didik enggak mau Ifa ketemu Virgo. Tapi …, bisa kan, untuk waktu ini, kita berdua aja? Didik pengin ngabisin waktu full sore ini bareng Ifa. Nonton ke bioskop, yuk!" Dika langsung melingkarkan lengan ke leher Zifa, menggiringnya menuju tempat parkir. Zifa yang dasarnya mudah teralihkan perhatiannya manggut-manggut bagai kerbau dicocok hidung.

"Iih, yang ini bagus banget! Ifa cantik banget, Didik! Didik ganteng juga lhoh, ngegemesin!" gemas Zifa yang tengah melihat-lihat hasil foto dalam kamera.

Cowok berpipi tembam itu hanya menoleh sebentar. Langsung fokus pada jalanan di depan lagi. Kali ini sambil tersenyum. Tangannya perlahan memutar setir membelokkannya ke kanan. Berhenti di depan gerbang rumah bercat krem, rumah Zifa.

"Nanti fotonya dicetak, ya! Yang ini, nih." Zifa menunjukkan foto yang diambil terakhir kali, saat Dika memberikan bunga. "Terus dipajang di rumah. Wajib, lhoh ya!"

"Iya."

Zifa segera membuka pintu mobil. Ternyata di teras rumah sudah ada kakaknya dan Rendra. Sedang bermain catur.

Rendra sudah menoleh ke arah mobil jazz silver yang terparkir di ambang gerbang sejak mobil tersebut berhenti. Dia jadi tidak sadar kalau yang dia jalankan adalah raja.

"Kalah lu, Ren! Hahaha." Bagas terbahak setelah memakan raja milik Rendra dengan kudanya.

Cowok berkacamata yang wajahnya hampir sembilan puluh persen sama seperti Virgo itu tak berkomentar. Dia hanya menatap Zifa dan Dika yang baru keluar dari mobil. Sedikit rasa cemburu telah menyingkap dalam dada.

"Bang Bagas, Rendra …," sapa Dika yang kemudian ikut nimbrung, mengambil camilan yang tersedia di atas meja. Sementara Zifa masuk ke rumah untuk ganti baju.

"Yeee, lulus juga lu, Dik. Mau kuliah di mana, rencananya?"

"Jadi adek tingkat lu, dong!"

"Lo mau ngambil teknik juga?" Bagas mengambili buah caturnya dan memasang kembali di atas papan.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang