Ikosa

238 18 0
                                    

Sisa lampu yang menyorot dari ujung jalan menyilaukan mata Virgo sekejap. Dilihatnya Zifa dalam boncengan Bagas. Tak kelihatan wajahnya karena posisi duduk yang membelakangi Virgo.

Sebenarnya Virgo sedikit malas melangkah seorang diri ke rumah Zifa seperti ini. Tidak adanya komunikasi di antara mereka berdua sedikit pun belakangan ini membuatnya canggung untuk bertemu Zifa. Rasanya Virgo ingin balik badan dan pulang. Memberikan dua kotak bakpia di tangannya ke anak-anak ampuan SC saja pulang sekolah besok. Atau biar Rendra titipkan lewat Bagas.

Tapi semua niat itu cuma rencana semata. Sia-sia saja kalau pulang lagi ke rumah. Virgo selalu percaya semua akan ada balasannya. Semacam, bisa jadi dengan datangnya ke rumah Zifa, dia akan melihat cewek itu telah kembali jadi Zifa yang dulu.

Oh, ya ampun. Sudah berapa kali Virgo mengharap omong kosong itu terjadi pada Zifa?

"Fa, jawab!"

Virgo sedikit kaget mendengar gertakan itu. Dia sangat kenal suara tersebut. Suara Bagas. Dengan cepat Virgo melangkah dan mengintip dari ambang gerbang. Menyaksikan bagaimana Bagas dan Zifa berhadapan. Wajah Bagas tampak membuncahkan amarah yang begitu besar. Bahunya sampai naik turun membentak Zifa barusan. Cewek itu tertunduk takut. Virgo memicingkan mata mengamati penampilan Zifa dari bawah. Dia memakai dress biru tua dengan renda yang melingkar di batas lutut, berlengan panjang. Tak dapat Virgo deskripsikan bagaimana warna di wajah itu. Sekilas terlihat sangat takut seolah sedang berhadapan dengan monster.

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

"Jawab, Fa! Siapa yang ngajak lo ke sana?!"

Zifa masih konsisten dalam kediamannya. Dia mengusap sudut matanya. Cewek itu menangis.

"Terus lo dapat duit dari mana masuk ke tempat kek gitu?" Nada tanya Bagas terdengar menurun satu oktaf. Seperti baru saja membendung emosi yang terlalu meluap.

Virgo mengernyit. Bagas yang tidak to the point menyatakan nama tempat dan Zifa yang hanya diam tambah membuatnya bingung. Sebenarnya dari mana Zifa, sampai Bagas marah besar seperti itu?

"Jawab!"

"Pinjem temen, Kak," jawabnya dengan suara bergetar.

"Pinjem temen?" Bagas seolah tak percaya. Dia spontan menggeleng-geleng. "Astaghfirullahal'adzim, Zifa …. Lo rela pinjem banyak duit ke temen cuma buat party ke kelab, beli produk-produk kosmetik mahal, sama beli barang branded kayak gitu? Otak lo di mana, ha? Lo bukan anak kecil lagi, kan? Lo tuh mikir apa sih, ha?" Bagas mengatakannya seolah Zifa benar-benar sudah sangat keterlaluan. Tentu saja. Kakak mana yang tidak kecewa mengetahui adiknya yang selama ini dia jaga baik-baik, justu jadi orang yang kelakuannya tidak patut diteladani seperti ini?

"Mama sama Papa kerja keras, ngasih uang ke lo secara cuma-cuma, dan begini balasan lo?! Mau jadi apa lo kalo udah besar? Lo tuh udah SMA! Udah waktunya lo ubah mindset lo dari anak-anak jadi dewasa. Udah saatnya lo mulai mikir masa depan. Mama sama Papa capek banting tulang, sementara lo cuma seneng-seneng mulu? Mereka memang kasih segala hal biar lo seneng, tapi bukan gini cara lo balesnya! Gimana kalo sampai Mama Papa tau kelakuan lo?" Bagas berkacak pinggang sambil menunduk. Wajahnya yang terbalut muram juga kecewa bertambah merah padam. Dia hanya sanggup bertanya, bagaimana bisa adiknya seperti itu? Bagas pusing. Dia kemudian menyisir rambutnya asal-asalan sampai jambul kesayangannya berantakan. Ya, ini bukan saat yang tepat membanggakan jambul.

Virgo merasa hampa di tempatnya berdiri. Dia tak percaya kalau Zifa bahkan sampai senekat itu hanya demi eksistensinya di tengah-tengah gengnya. Hanya demi terpandang secara ekonomi? Hanya demi menyamai gengnya? Hanya demi popularitas? Bagas benar, Zifa mikir apa sih?

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang