Heptakosa

335 18 0
                                    

Menunggu itu sakit. Ya, setidaknya itu yang sering orang-orang katakan.

Apalagi yang ditunggu lama. Masih mending Virgo dulu hanya menunggunya untuk berangkat sekolah paling lama setengah jam. Ini sudah dua jam. Dua jam Zifa duduk dalam kejenuhan. Menunggu sesuatu yang tidak menentu. Padahal dia sudah dengan garangnya mengusir adik kelas yang hendak duduk di dekatnya, bermaksud menyisakannya untuk Virgo. Tubuhnya rebah pada sandaran kursi. Tangannya bersedekap. Tatapannya lurus ke depan, tepat pada penari yang saat ini sedang melenggak-lenggok. Namun pikirannya mengawang. Berkelana jauh. Bahkan musik tari yang menghentak keras dari speker tak buat lamunannya buyar.

Seketika ingatan demi ingatan ketika dirinya bersama Virgo terungkit. Mulai dari pertemuan pertama, membantu Virgo berputar-putar mencari tanda tangan senior sampai rela melakukan hal gila sebagai syarat mendapatkannya, dibentak Virgo, baikan, belajar bersama Virgo, ikut mengajar di kelas SMANSA Charity, makan di Koubutsu Cafe tiap pulang sekolah di hari Senin. Hingga dia merasa jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, dia tak ingin Virgo pergi. Sangat tidak ingin sampai-sampai matanya memanas hendak menangis. Akan tetapi Zifa berusaha untuk menahannya. Tenggorokannya terasa tersekat.

Virgo, lo di mana? Nilai gue udah naik semua, ayo dateng! Jangan bikin gue kecewa! Mana kejutan yang lo janjiin? Jangan bohong, please! Mata Zifa benar-benar sudah memerah dengan urat-urat tampak di permukaan. Dadanya mulai sesak.

"Wow! Tepuk tangan buat Mia CS. Bagus banget ya, tariannya? Gemulai banget, iya nggak sih, Re?" ujar si pembawa acara di atas panggung itu setelah tari usai dipertontonkan.

"Yap, betul banget! For your information, ya. Mia sama empat temennya ini udah pernah maju lomba tari tingkat nasional dan beberapa kali ngisi acara di televisi sebagai penari latar, Guys! Keren banget, kan?"

"Iya, Re. Tapi ada yang enggak kalah keren juga, nih. Aktris dan aktor kece-kecenya SMANSA siap membawa kalian semua hanyut dalam drama musikal bertajuk Lutung Kasarung!"

Sejenak sorak sorai memeriahkan suasana. Siapa sih, yang tidak kenal anak teater? Keren-keren, pintar akting pula! Bahkan popularitasnya hampir menyaingi anak-anak OSIS dan KIR yang memang paling menonjol di sekolah.

Sementara para panitia tengah mempersiapkan properti drama yang akan digunakan, Zifa justru berdiri hendak pergi. Winda yang duduk di belakangnya langsung menahannya.

"Mau kemana, ih? Sini aja, Zifa! Lo katanya mau nunggu Virgo? Lagian liat dulu dong dramanya! Nyesel entar, siapa tau yang jadi pangerannya Deon." Deon itu anak teater, tampan, tapi orangnya agak lumer alias banci. Meski begitu tetap banyak kok, cewek yang ngefans sama dia. Dia itu multitalent. Zifa kadang suka menggodainya.

"Gue maunya Virgo!" rengek Zifa sambil mencak-mencak.

"Bentar! Lihat anak teater dulu! Habis itu gue janji bakal bantu lo nyari Virgo. Ya?"

Zifa tampak mendengus. Dengan hati yang tak ikhlas, dia kembali duduk, mendaratkan pantat secara kasar sampai terasa sakit.

Untung enggak jadi pergi, Winda merasa lega di kursinya.

"Wah, udah pada enggak sabar nih lihat Purbasari menampakkan kecantikannya. Gimana nih, Ca?"

"Oke, karena kita udah enggak tega lagi nahan-nahan dan bikin muka kepo kalian tambah parah, kita kasih deh. Langsung aja, ini dia persembahan dari Teater SMANSA!!"

Drama dibuka dengan tarian diiringi suara suling yang sangat khas menggambarkan kehidupan cerita yang berasal dari tanah Pasundan itu. Dari awal dibuka, sang Purabasari terlihat berada di tengah-tengah dayang-dayangnya yang tengah menari. Berita pemeran Purbasari memang sudah bocor dari awal. Chiara yang menjadi lakon utama, cewek berambut hitam legam dan berkulit kuning langsat. Wajah lembut dan alis datar yang tak terlalu tebal membuatnya cocok menjadi Purbasari yang berhati malaikat.

Valensi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang