Darah

309 25 2
                                    

Pita turun dari motor Jono, seulas senyum tercipta di sana.

"Thanks Jon!"

"No problem. Oh ya, nanti pulangnya gua anter ya? Tapi ikut dulu ke rumah gua, si mama pengen kenal katanya."

Ucapan Jono semakin membuat ia terbang keawang-awang dengan pipi merah merona.

"Pit?"

"Hah?"

Jono tersenyum manis, "Gimana?"

Pita mengangguk antusias, "Mau mau gua mau."

Jono mengangguk, "Yaudah yok ke kelas."

Pita terkejut saat lengannya digenggam oleh Jono, alhasil membuat ia kembali tersipu.

"Hei, Cing!" panggil Jono.

Talla melambaikan tangannya dan mendekat ke arah mereka berdua.

Hah? Serius si Jono kenal Cacing?
Gumam Pita.

Setelah sampai di depan mereka, Talla menhembuskan napas berat melihat lengan Pita berada pada genggaman Jono. Seolah merasa tak enak, Jono melepas tangan Pita dan menyatukannya dengan tangan Talla, hal itu membuat Talla tersenyum.

"Sorry bro, gua tadi cuma jaga cewek lo aja kok!" Jono terkekeh geli.

Pita melotot mendengar ucapan Jono, sedangkan Talla malah tersenyum penuh kemenangan.

"Santai aja Jon, santaiii."

Talla dan Jono tertawa, "Lo kayak yang di film dunia terbalik tau gak wkwk."

"Si muklis." jawab Talla kembali tertawa.

Pita termenung, "Kalian saling kenal?"

Jono tersenyum, "Mamanya Cacing dokter pribadi keluarga gua."

Pita mengangguk, jadi mamanya si Cacing dokter toh.

Pita tersadar kalau dari tadi tangannya telah pindah pada genggaman lain.

"Lepasin Cing!"

"Nggak." jawab Talla.

"Caciiiing."

"Pitaaakk."

"Apaan sih ah gak suka dipanggil pitak." rengek Pita.

Jono hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua, "Kalian emang best couple. Yaudah gua ke kelas duluan ya."

Talla terkekeh dan mengacungkan jempol kirinya.

"Cacing ih lepas!"

Talla mendekatkan wajahnya pada wajah Pita membuat jatung keduanya berdetak lebih kencang.

"Jadi mau dipanggil apa?" posisi mereka sangat dekat, membuat Pita gugup untuk berkata. Ditambah, hembusan hangat napas Talla yang bisa Pita rasakan.

"Cing."

"Pit."

"Cacing."

"Pita."

Talla menundukan pandangannya, membuat hidung mancung mereka bersentuhan.

Pita masih menatap Talla dengan perasaan campur aduk, abstrak, atau amburadul.

Bragg.

Sebuah bola basket mulus mencium punggung Talla membuat ia tercondong kedepan dan membuat Pita terkejut karena kini yang dekat bukan hanya wajah tapi tubuhnya juga. Tapi ia tidak berniat marah untuk kali ini, karena ia tahu ini bukan salah Talla.

CACING PITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang