Part 10 (Bintang Jatuh)

599 39 7
                                    


Saat semuanya terasa begitu runyam

Bahkan waktu tak memberi penjelasan

Apa yang aku harapkan ?

Mungkin menanti datangnya bintang jatuh


Seorang lelaki dengan kemeja biru muda yang ia biarkan kancing teratasnya terbuka karena kali ini ia tak membiarkan seutas dasi mencekik lehernya, dengan balutan jas biru dongker dan celana katun panjang yang senada juga sepatu hitam mengkilap yang menambah kesan sempurna pada penampilannya kali ini, lelaki itu kini tengah mengambil langkah lebar-lebar pada lorong sebuah rumah sakit, pandangannya lurus kedepan, raut wajahnya kini menampakkan keseriusan, sebuket bunga Lily putih kini berada pada genggaman tangan kanannya.

Beberapa pasien ia lewati begitu saja, diantaranya wanita dewasa dengan boneka hello kitty berukuran kecilnya, atau beberapa lelaki yang tengah menari nari kegirangan bertempat pada sebuah ruangan dengan cat berwarna biru telur asin dan alunan musik sedikit keras yang meramaikan ruangan tersebut. Ini bukanlah hal yang asing baginya, ini merupakan sarapan paginya.

Rumah Sakit Jiwa Yogyakarta, yaa itulah nama dari Rumah sakit yang kini tengah dikunjungi lelaki dengan perawakan gagah walaupun dapat ditaksir umurnya sudah mencapai kepala 4 , tapi ia terlalu segar bugar untuk dipanggil tua.

Sebuah ruangan yang terbatasi pintu berwarna putih kini sudah berada dihadapannya, helaan nafas panjang ia lakukan sebelum tangannya bergerak untuk meraih pedal pintu untuk mengarah kebawah, seketika pintu ruangan itupun terbuka, nampaklah seorang wanita dengan rambut sebahu tengah terduduk pada sebuah ranjang khusus pasien sembari melihat kosong kearah jendela yang bertepatan disebelah ranjangnya. ia bahkan tak menggubris suara pintu yang terbuka, seakan pemandangan diluar terlalu berharga untuk dilewatkan sebentar saja.

"Hmm.. " Lagi lagi helaan nafas yang sedikit memburu keluar dari lelaki yang kini sudah berada didalam ruangan setelah ia menutup pintunya rapat. Ia melangkahkan kakinya perlahan kearah wanita tersebut.

"Eliza.. " Panggil lelaki itu lirih kepada wanita yang kini masih terpaku pada pandangannya kearah luar, tak ada jawaban sedikitpun yang keluar dari mulut wanita ini. Lelaki itu seakan tak ingin menahan kesabarannya lebih lama untuk mendapat jawaban ,  iapun melangkah lebih dekat dengan wanita yang berumur tak jauh dengannya, kini mereka saling berhadapan, lelaki itupun menarik sebuah kursi kayu yang berada tepat disamping ranjang , lalu duduk diatasnya.

"Eliza.." Panggil lelaki itu lirih kali ini dengan meraih kepala wanita didepannya agar wajah mereka sejajar. Wanita yang sudah memiliki beberapa kerutan diwajahnya pun menajamkan matanya, tatapannya begitu sendu , ia meneliksik lelaki dihadapannya kali ini.

"Ica ... ica.. " Ucap sang wanita setelah mengamati wajah orang dihadapannya , namun hanya itulah yang dapat ia ucapkan  , sebuah nama yang mungkin saja sangat berarti baginya, raut  senang kini terlukis pada wajahnya seakan ia menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.

Sementara lelaki dihadapannya hanya menggeleng pelan, sebagai jawaban ia bukanlah orang yang wanita itu panggil dengan penuh harapan dan kasih sayang, seulas senyuman prihatin nampak pula pada wajah pria berumur 40 an itu.

"Dia baik baik saja el, percayalah padaku ia bahkan sudah lebih baik dari yang kau lihat terakhir kali" Ucap Lelaki itu pelan, dengan sedikit memberi harapan pada wanita didepannya , walaupun ia tahu itu adalah hal yang sia sia , karena kondisi seseorang dengan gangguan pada kejiwaannya akan sulit menangkap perkataan seseorang.

"Ica.. icaa" Ujar wanita itu kembali , kini disertai dengan aliran airmata yang perlahan menuruni pipi tirusnya, kesedihan yang luarbiasa nampak jelas pada kedua matanya.

Precious TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang