Part 21 - Hate

477 39 8
                                    

HAIIII.... I'M COMEBACK :) :) , 

Ada yang kangen sama Alyssa , Mario, Sivia, Jonathan ???

Maafkan yaaa agak lama ini updatenya, soalnya uwa aku sakit parah , jadi mood aku gabener, minta doanya ya semoga uwa aku lekas sembuh :'(

Yaudah langsung aja baca part ini yaa, jangan lupa VOTE dan COMMENT ya , love you :*

I HOPE YOU LIKE THIS PAST GUYS :* 


Sivia memandangi Henri yang tengah berbicara dengan seseorang di sambungan telfonnya, ia sama sekali tak berminat mengartikan percakapan sang ayah yang tak jauh dari masalah bisnis dan perusahaan.

Sivia mengalihkan pandangannya kearah jendela yang menghadap kearah pemandangan kota Yogyakarta, sebuah keraguan muncul dalam benak Sivia, pertanyaan yang semalaman bergelayut dalam fikirannya apakah memang harus ia pertanyakan ?

"Hhh..." Sivia menghembuskan nafasnya perlahan, rasanya begitu berat, belum juga ia menanyakan tentang Diana kepada sang ayah, kenapa hatinya merasa sakit terlebih dahulu ? padahal sudah sejak semalam ia merasa begitu matang untuk ini, menyiapkan hati yang mungkin akan ditumbuhi dengan rasa kecewa yang teramat dalam.

"Via" Panggil Henri setelah ia mengakhiri percakapan dengan salah satu kolega bisnisnya. Sivia kembali menatap sang ayah , dan sebuah senyuman hangat terbit dari bibir tipisnya, seakan itu adalah pembuka yang manis untuk percakapan yang mungkin akan menguras emosi sebentar lagi.

"Apa yang ingin kamu tanyakan ? kenapa ibu tidak boleh ikut ?" Tanya Henri yang kini mengambil duduk pada kursi disamping ranjang Sivia.

"Karena ini hanya tentang aku dan ayah, aku tak ingin ibu tahu" Jawab Sivia masih dengan senyuman sehangat matahari terbitnya.

"Oh , apakah ini rencanamu yang akan pulang ? lalu membuat kejutan untuk Ibu ?" Tanya Henri dengan wajah antusiasnya, dan yaa dari sorot mata Henri sangat terlihat kerinduan pada anak gadisnya itu.

Sivia hanya terkekeh mendengar perkiraan sang Ayah , ia menatap lamat – lamat sang ayah yang masih mempertahankan senyum bahagianya, sejenak ia merasa kalo apa yang dikatakan Diana hanyalah kebohongan semata, tidak mungkin ayah yang selama ini menjadi pelindungnya berlaku sangat kejam.

"Bukan" Jawab Sivia sembari menggeleng pelan, Henri mengeryit heran , apa yang akan Sivia katakan padanya.

"Aku ingin bertanya sesuatu tentang Ayah" Ucap Sivia yang kini mencoba untuk menegakkan tubuh dari tidurnya yang tentu dibantu oleh sang Ayah.

"Apa yang ingin kau tanyakan Nak ?" Tanya Henri dengan rasa penasaran yang semakin timbul dari hatinya.

"Masa lalu ayah" Jawab Sivia, dan seketika raut wajah Henri berubah , dalam hitungan detik lelaki paruh baya itu terlihat tegang, namun dengan cepat ia memunculkan senyuman tenangnya, berusaha menampilkan bahwa ia baik – baik saja. Namun Sivia tidak bodoh untuk mengartikan ketegangan dari wajah sang ayah, Sivia sudah sangat tahu siapa Ayahnya.

"Apa Ayah menyembunyikan sesuatu dariku ?" Tanya Sivia langsung, dan itu seketika membuat Henri mengeryit tak mengerti, masih berusaha menutupi gejolak dalam hatinya.

"Tidak ada" Jawab Henri singkat. Dan sialnya Sivia adalah lulusan Psikologi yang sangat tahu kapan Ayahnya berbohong dan kapan tidak, kali ini ia mengutuk dirinya yang bersikukuh ingin masuk jurusan tersebut.

"Jangan lupakan aku adalah sarjana Psikologi, Ayah"

Henri menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan hati dan fikirannya yang kini berlomba untuk sama sama kalut.

Precious TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang