Part 12 [Stev~2]

6K 437 0
                                        

Aku memberontak sekuat tenaga. Namun entah mengapa tenaganya lebih besar dibanding diriku.

"Diam!" Bisiknya ditelingaku.
Aku langsung berbalik saat ia melepas bekapan di mulutku.

"Siapa kau? Aku harus pergi sekarang," aku hendak lari namun terhenti karna ia mencekal tanganku.

"Kau mau kemana?" Aku menoleh dan melepas paksa cekalan nya.

"Aku harus pergi menyusul ibuku. Kau tau? Karna kau ibuku sudah tak terlihat. Aku harus pulang sekarang!"

"Apa kau gila heh? Disana sedang terjadi pertempuran. Apa kau mau mati sia-sia?"

Aku terdiam, apa yang dikatakan bocah ini benar. Tidak, aku tidak takut mati. Hanya saja aku teringat semua pesan Ayah. Bagaimana aku bisa lupakan itu? Bukankah aku telah berjanji kepada Ayah untuk tumbuh dewasa seperti apa yang dia inginkan?
Lalu bagaimana jika nanti aku mati tanpa menepati janji?

"Kita kesana besok. Aku akan menemanimu. Mungkin pertempuran sudah berakhir"

Aku mendongak, "Sungguh? Maksudku, apa kau yakin?"

"Pertempuran sudah terjadi sejak tiga hari yang lalu. Aku mendapat kabar bahwa ini adalah pertempuran terakhir karna hanya mereka para Witch yang tersisa," aku menghelakan nafas, semoga saja ini benar-benar berakhir dan kaum kami yang menang. Aku harap ibu dan ayah baik-baik saja.

"Untuk sekarang, ini adalah tempat yang aman untuk kita dari Witch. Karena setidaknya mereka tidak dapat mencium bau kita," lanjutnya.

Kata-katanya membuat ku merinding. Aku tau apa yang ia maksud. Saat ini perang sedang berlangsung dan aku tidak tau dimana aku berada. Tentu saja hal seperti ini bisa di manfaatkan oleh Rogue untuk beraksi. Atau mungkin mereka bekerjasama oleh para Witch? Aku pun tak tahu.

"Tidurlah, kita harus menyiapkan tenaga. Kita tak tau apa yang akan terjadi esok,"
Ujarnya lalu mengambil posisi yang nyaman untuk tertidur.

Tak lama, aku menepuk dahiku pelan saat teringat sesuatu. Astaga, aku lupa menanyakan namanya.
Namun, ku urungkan niatku kala melihatnya sudah tertidur. Cepat sekali, batinku.

Aku membaringkan tubuh diatas dedaunan kering dan bersandar di bawah pohon. Memandang langit gelap di hiasi kelap-kelip bintang yang bertebaran.

Angin dingin berhembus menusuk tulang. Membuatku memeluk tubuh mungil ini dengan erat. Api unggun? Jangan harap. Bagaimanapun kami harus mencegah siapapun atau apapun mengetahui keberadaan kami.

Sunyi dan tentu saja sepi. Hanya suara pepohonan yang diterpa angin dan serangga yang memenuhi pendengaranku.

Tanganku terulur seakan menggenggam langit. Indah namun sulit tuk dicapai. Terlihat dekat namun sulit tuk digapai.

"Ibu, ayah, tunggulah aku," ku pejamkan mata dengan tangan menggenggam angan. Berharap ini semua adalah mimpi dan terbangun di pagi hari seolah ini semua tak pernah terjadi.

🍃

"Dari mana kau dapatkan ini?" Tanyaku dengan mata berbinar.
Aku mengambil beberapa mangga yang ia sodorkan padaku.

Wajar saja, pasalnya tadi pagi aku dibangunkan oleh para cacing diperutku yang meminta jatah makanan.

"Tak jauh dari sini ada pohon mangga yang tengah berbuah. Jadi aku mengambil beberapa untuk kita," aku mengangguk-anggukan kepala sambil memakan mangga segar yang baru ia petik.

"Bisa kau tunjukan arahnya?" Tanya bocah itu setelah perut kami terisi. Aku mengangguk dan mulai menyusuri jalan untuk pulang.

Alpha's MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang