Kamu tahu? Kadang aku berfikir ... bahwa mati adalah pilihannya.
Bahwa kematianlah jalan tercepat untuk menghilangkan semua persoalan di hidupku. Meninggalkan semua problema di dunia. Menjadi entitas tak berwujud. Tanpa masalah. Tanpa derita.
Kamu tahu? Kadang aku sangat ingin memotong nadi ini ... memotong penghubungku dengan dunia. Memotong keberadaanku agar dapat pergi secepatnya dari dunia yang kejam ini.
Tapi, tahukah kamu? Kalau aku terlalu takut.
Aku takut akan rasa sakit. Aku takut terluka lebih dari ini. Sudah cukup rasa sakit hatiku karenamu. Sudah cukup itu menorehkan rasa pedih dan perih padaku. Aku takut untuk merasakan sakit yang lain karena luka fisik hanya untuk menjemput kematian.
Kamu tahu? Jika kamu senang menyakitiku, aku bisa apa?
Tahukah kamu? Setiap kamu menyakitiku. Yang bisa kulakukan adalah hal yang sama setiap kalinya. Aku hanya bisa menangis dalam diam. Hanya bisa bersedih. Hanya bisa berlindung di balik topeng keceriaan yang selalu aku tampilkan di khalayak ramai.
Tahukah kamu? Jika kamu tidak perduli denganku, memangnya aku bisa mengeluh? Mana aku bisa. Di saat kita bersama saja, kamu tak pernah melirikku. Tak pernah menggubrisku. Meski aku kekasihmu.
Padahal aku kekasihmu.
Kekasihmu.
Tahukah kamu? Aku berasumsi, mungkin, mungkin saja, meski aku menghilang dari dunia ini kamu tak akan mencariku. Mungkin saja, kan? Karena bagimu, aku hanyalah mainan. Hanya objek yang jika kamu butuhkan, maka akan kamu cari. Tidak lebih. Hanya itu. Kan?
Dan jika kamu bosan, kamu akan biarkan aku kehilangan arah. Tersesat sendirian saat tak kamu butuhkan. Terjebak dalam kesepian seorang diri.
Kamu tahu? Bagaimana sakit hatiku saat kamu berkata begitu? Kamu tahu? Kesalahan tak sepenuhnya ada padaku.
Tapi...
Tetap saja kamu selalu menyalahkanku.
Tahukah kamu? Kamu telah menghancurkan hatiku. Membuatnya menjadi puing-puing tak berarti saat perkataan tajammu menghujam perasaanku. Meremukannya hingga ke bentuk terkecil. Memuai. Melebur. Lenyap.
Ingin kuakhiri semua.
Ya.
Semuanya.
Aku rasa hidupku tak kamu butuhkan lagi. Toh, aku hanya mainanmu. Mungkin aku sudah rusak, sudah menjadi tak berarti. Menjadi tak bermakna. Bahkan tidak lagi menjadi mainan yang mengasikkan bagimu.
Aku. Boneka bernyawa yang bisa kamu gunakan jika kamu perlu ini. Sudah rusak. Nyawanya ada. Hatinya tidak.
Ah, apa kamu tahu apa yang kulihat sekarang? Aku melihat seutas tali. Dan pikiran itu kembali datang, jika kuakhiri hidupku dengan tali itu, mungkinkah penderitaan batinku akan hilang? Mungkin ini cara agar diriku menghilang selamanya.
Oh iya. Terima kasih.
Kuucapkan terima kasih padamu. Terima kasih sudah menemaniku beberapa tahun ini. Terima kasih telah pernah membuat hidup monokrom-ku berwarna. Terima kasih sudah membuat hidupku bahagia, meski berakhir sakit hati dan batin yang terluka. Tetap kuucapkan terima kasih padamu.
Sayonara Ong Seongwu, bye bye, semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih bisa memahamimu. Maaf, maafkan aku tidak bisa lagi menemani hari-harimu.
Salam cinta dan sayang dari Kim Jaehwan.
Aku akan selalu mencintaimu, dan akan tetap begitu.
Dan jika boleh aku berharap, semoga kelak, di kehidupan yang berbeda, di masa yang berbeda, kamu dan aku, kita dipertemukan lagi. Tapi, dengan cerita yang indah. Yang tidak sesakit ini.
Berbahagialah.
Yours, Kim Jaehwan
Seongwu hanya bisa menangis, air matanya jatuh pada sepucuk surat yang ia temukan berada di bawah kaki Jaehwan. Kaki yang mengambang, berayun pelan akibat hembusan AC yang sangat dingin. Tak jauh dari sana, sebuah kursi sudah tergeletak dengan posisi yang terbalik. Benda terakhir yang ditendang Jaehwan sebelum meregang nyawa.
Tubuh tanpa nyawa itu kini tergantung di langit-langit kamar. Lidah yang terjulur keluar. Wajah yang dulu selalu tersenyum hangat kini berubah menjadi putih pucat. Bulir air mata yang membekas di pipinya masih terlihat, kering, namun membawa kepedihan.
“Jaehwanie,” panggil Seongwu lirih, “kenapa kau lakukan ini?”
Tertatih, Seongwu mendekat, “kenapa kau tinggalkan aku seperti ini?”
Mendongak, berbicara pada kekasihnya, “apakah aku penyebabnya? Apa aku alasan hingga kau nekat gantung diri, sayang?”
Seongwu memeluk tubuh dingin itu, menurunkannya. Merebahkan Jaehwan di atas tempat tidur perlahan, seolah pemuda itu hanya terlelap.
Hanya kata maaf yang terus keluar dari mulut Seongwu. Ia menyelimuti tubuh dingin itu, menggumamkan maaf dengan lirih. Air mata Seongwu jatuh membasahi pipi Jaehwan yang sudah semakin pucat. Menjejak di bekas air mata Jaehwan yang mengering.
“Tuhan, kenapa kau berikan cobaan ini padaku?” keluh Seongwu memutuskan menyalahkan sang pencipta akan takdirnya.
-Fin-
Kim Jaehwan kekasih Ong Seongwu
Kim Jaehwan ➡️ Uke
Ong Seongwu ➡️Seme
KAMU SEDANG MEMBACA
CCWT
Fanfiction🚫WARNING🚫 ~ Cerita terkadang mengandung unsur dewasa ~ Bijaklah dalam memilih becaan. ~ Yang dibawah umur tidak dianjurkan mampir ~ Ryu tidak bertanggung jawab jika otak kalian terkotori 🌚 ~ Tanda 🚫 merupakan peringatan untuk kalian yang di baw...