9● Jessi

3.2K 294 26
                                    

"Napa lo?"

Nafasku masih kuatur saat suara Riska menginterupsi pendengaranku. Perempuan itu masih santai di meja kerjanya dengan secangkir susu putih panas yang asapnya kelihatan membubung dan sekotak kue donat dengan toping yang berbeda. Laptop di depannya tidak dipakai untuk mengerjakan laporan, tetapi untuk menonton drama korea.

"Habis liat setan?" lanjutnya sambil mensesap susunya. Matanya kembali beralih pada laptop di depannya setelah melirikku sedetik sebelumnya. Jam kantor memang masih belum masuk, jadi kami bisa bersantai. Kebanyakan karyawan yang tinggal jauh dari kantor lebih memilih datang lebih awal dan sarapan di kantor dari pada datang terlambat. Jadi, tidak heran jika jam seperti ini aku dan Riska sudah nampak di kantor sambil bersantai. Lagi pula hotel ini juga tidak terlalu menekan karyawannya untuk terus bekerja. Asal kerja bagus, target terpenuhi dan melebihi, dan para tamu merasa puas dengan fasilitas hotel dan cara kerja para front liner, maka itu cukup.

"Lebih ngeri dari setan." sahutku. Yah, Sean, kan memang lebih mengerikan dari pada setan. Jika setan hanya mengganggu manusia lewat aura dan penampakannya, Sean bisa menjadi psikopat gila dan berlaku semena-mena. Sean bisa membuat orang mati hanya dengan mendengar perintahnya.

"Cih, masih pagi bu, jangan ngayal." katanya sambil mengibaskan tangan yang tidak memegang gelas susu. "Lagian, makhluk apa sih yang lebih ngeri dari pada setan? Jin? Jin malah bisa berubah wujud jadi cowok ganteng. Kalau bisa dia berubah jadi Tom Cruise yang shirtless dan goyang ala stipis di depan. Itu baru satapan pagi yang meyehatkan mata."

Aku hanya menggeleng mendengar sahutannya itu. "Nah, kan. Lo aja yang kebanyakan nonton. Pagi-pagi sudah ngayal." kataku seraya berjalan menuju meja kerjaku dan menaruh barang-barang yang tadi kubawa termasuk coklat panas yang tadi singgah kubeli di starbucks.

"Lah, emang lo gak suka lihat bang Tom Cruise kayak gitu? Apa jangan-jangan lo... ada sesuatu?" kata Riska sambil membentuk dua jarinya seperti tanda petik.

Aku menyeringai. Obat yang mujarab untuk menghilangkan efek yang ditimbulkan oleh Sean adalah mengerjai teman yang iseng.

Aku menghela dan berpura-pura seperti orang yang sudah menyerah karena ketahuan berbuat salah.

"Tolong jangan bilang siapa-siapa, Ris. Ini rahasia kita."

Mata Riska membulat dan membuat batinku merasa puas. Cewek ini benar-benar lucu. Meski pikirannya agak melenceng dari pikiran cewek normal, bahkan terkesan bertukar jiwa dengan cowok, ia tetap bisa ditipu dengan tipuan receh seperti ini.

"Yang benar lo? Yang tadi itu gak serius."

"Tapi gue serius. Gue emang kayak gitu."

Mata Riska memicing, "Serius?"

Aku mengangguk mantap.

"Sejak kapan?" tanyanya lagi. Ia sedikit menggeser dan menjauh dariku.

"Sejak SMP. Setelah gue masuk ekskul basket."

"Kok bisa?"

"Pengaruh lingkungan Ris. Ekskul basket gue rata-rata diikuti cewek tomboy dan tomboynya, tomboy banget, bahkan rambut dipotong kayak laki-laki. Penampilan juga kayak laki-laki. Awalnya, gue gak ngikutin gaya mereka. Gue ikut basket karena gue suka, tapi lama-kelamaan, tidak tahu bagaimana bisa, gue juga ikutin. Bahkan gue juga suka macarin cewek."

Wow, aku mungkin punya bakat menjadi artis nih? Hahaha, Riska benar-benar percaya pada cerita bualanku.

Riska lagi-lagi menggeser tubuhnya dan membuatku harus ekstra menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa saat ini.

"Sampai sekarang?" tanyanya lagi dengan hati-hati. Ia sudah tidak lagi peduli pada tontonannya yang masih ia pause sampai detik ini. Fokusnya benar-benar padaku dan pada cerita fiktifku.

RESTARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang