27● Karena kopikah?

1.8K 216 17
                                    

Minta bintangnya yah. Kalau bisa berkomentar juga. Saya malah senang dapat kritikan, artinya kalian peduli sama cerita ini 😄😄😄.

...

"Ciee.... yang kemarin jalan berdua sama Bos." ejek Mbak Tari tiba-tiba ketika aku baru masuk ke dalam kantor. Suaranya yang keras membuatku harus menengok ke belakang, mewaspadai ada karyawan lain yang lewat.

"Cie ada jomlo yang cemburu." Aku balas mengejeknya lalu duduk di kursiku. Menaruh barang-barang dan menikmati segelas frappuchino yang tadi kubeli di minimarket sebelum kembali berdiri untuk mengantarkan pesanan Sean.

"Gak apa-apa lo ngejek gue." balas Mbak Tari santai. Ia terkekeh pelan lalu kembali berkata, "Bentar lagi gue juga bakal dapat pasangan." Seolah tidak peduli pada ejekanku barusan yang biasanya ampuh membungkam orang-orang jomlo.

"Siapa emang? Pak Tony?" tanyaku. Rasa penasaran mulai menggerogoti jiwa. Aku memasang telinga baik-baik dan fokus membaca ekspresi dan semua tingkah Mbak Tari.

"Bukan dong." katanya. Aku mulai was-was. Rasa-rasanya aku tahu siapa yang dia maksud tapi, malah tidak suka jika Mbak tari memang menyukainya.

"Ri, lo baik deh. Makasih yah?"

Satu alisku naik. Baik? Memang selama ini aku tidak baik? Tapi, ini tentang apa?

"Maksud lo?" tanyaku.

Pandangan Mbak Tari mengarah pada minuman yang kupegang. Dan aku langsung tahu yang ia maksud. "Ini bukan untuk lo, Mbak."

"Terus buat siapa?"

"Mau tahu aja deh lo." sahutku. "Udah ah, gue cabut dulu."

Mbak Tari memberenggut, lalu menatapku dengan mata memicing. "Alah bilang aja pesanan buat calon."

Aku diam dan terus melangkah.

...

Di jalan menuju ruangan Sean, aku tidak melihat Jessi di tempat duduknya. Perempuan itu sepertinya pergi ke kamar mandi untuk merias diri atau mungkin ....

"Bodo ah, bukan urusan gue." gumamku tak peduli dan bergegas mengetuk pintu. Tapi, belum sempat tanganku sampai ke pintu, pintu itu sudah terbuka duluan, alhasil tanganku berhasil mendarat di muka Jessi dan membuat perempuan itu merintih kesakitan.

Aku meringis. Itu pasti sakit. Jariku saja yang tidak sengaja mengenai dahinya masih terasa nyut-nyut, apalagi dia.

"A ... aduh sorry, Jess. Aku gak tahu kalau kamu mau buka pintunya."

Wajah Jessi memerah. Kentara sekali kalau ia sedang geram sekarang, namun itu hanya sepersekian detik sebelum ia menampilkan senyum ramah.

"Ya, gak apa-apa."

Serius?

"Dahiku kuat kok. Jari kamu gimana?"

Untuk beberapa detik aku diam karena merasa takjub dengan apa yang dilakukan Jessi. Padahal dahinya sudah memerah, mungkin sebentar lagi akan benjol kalau tidak segera dikompres, namun dia masih bisa menampilkan senyum.

"Jariku baik-baik saja. Tapi kening kamu memerah." Refleks tanganku coba menyentuh keningnya, namun secepat kilat langsung ditepis oleh Jessi. "Ma ... maaf, aku cuma mau periksa."

Jessi masih mempertahankan senyum. "Eh, tidak. Gak apa-apa. Kamu ada urusan sama Pak Sean, kan?"

Aku mengangguk, "Iya."

"Kalau gitu masuk aja. Aku masih ada urusan." Lalu ia keluar dari ruangan Sean. Dan aku segera menutup pintu ketika sudah berada di dalam ruangan.

"Permisi, Pak."

RESTARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang