Sudah beberapa menit berlalu, Sean dan Aria berada di dalam ruangan kerja Sean untuk menyelesaikan laporan mereka. Tidak seperti yang dulu, ketika mereka bekerja di dalam ruangan yang sama, kali ini Sean tak banyak memprotes apa yang dilakukan Aria. Bahkan ketika Aria melakukan kebiasaannya, menjepit bolpoin di antara bibir dan hudungnya. Sean lebih memilih memperhatikan Aria dalam diam sambil tersenyum geli.
Cara Aria berpikir dan melakukan kebiasaannya selalu membuat Sean terhibur. Entah raut Aria yang berubah konyol atau bibirnya yang terlalu monyong ke depan, Keningnya yang mengkerut atau dahinya yang dijedut ke meja dengan alasan yang Sean tak tahu, selalu membuat Sean tersenyum. Aria benar-benar konyol.
"Ehm..."
Sean tersentak, buru-buru ia memperbaiki posisinya untuk menutupi kegugupan dan apa yang sedari tadi ia lakukan ketika fokus Aria sudah beralih padanya.
"Emm, Pak?"
Pelan, Sean mengangkat kepalanya, menatap Aria dengan kening mengkerut. Pura-pura merasa heran dengan kelakuan Aria. Meski sesungguhnya ia sudah tahu apa yang ingin Aria sampaikan. Namun, ia tunggu. Sean ingin Aria memohon padanya.
"Ada apa?" tanyanya.
Bapak mau kopi? tanya Aria.
Sean menyerngit, tumben sekali Aria menawarkan diri, biasanya harus ia dulu yang memerintahkan Aria, barulah perempuan itu bertindak. Apa ada yang diingankan perempuan itu? Tetapi, tidak ingin dipikir sedang memikirkan sesuatu, Sean mengangguk singkat dan menyahutnya, "Iya."
Lalu Aria bergerak menuju mesin kopi tidak jauh dari mereka. Mesin kopi yang sengaja ia suruh Aria bawa ke kantornya.
Dulu, niatnya hanya ingin mengerjai perempuan itu, dan sekarang niatnya itu berbuah manis. Karena jika tidak ada mesin kopi itu, Aria tidak mungkin punya inisiatif membuatkan dirinya kopi, alih-alih ke pantry yang sunyi, Sean yakin jika Aria lebih memilih menyelesaikan laporannya dengan tenang di tempatnya.
Sean langsung berdiri ketika Aria berniat menyeduhkan kopi hitam pekat favoritnya. Ia menyentuh kedua pergelangan tangan Aria lalu menghentikannya.
"Pakai susu, jangan pakai gula." katanya sambil mengarahkan tangan Aria yang memegang gelas ke samping. "Dan jangan yang pekat. Saya tidak akan bisa tidur jika meminum kopi hitam malam ini. Besok akan ada rapat yang harus saya hadiri." lanjutnya.
Aria mengangguk patuh. Seperti terpesona pada sikap Sean, ia terdiam dan tidak melakukan apa-apa sampai Sean harus menegurnya pelan.
"Aria, kamu tidak apa-apa?"
"Eh, ya?"
Sean menyentuh kening Aria lembut dan perlahan turun menuju pipinya. Mengelusnya sebentar lalu menatap mata Aria dalam. Ia ingat betul bagaimana dulu dirinya ingin sekali merasakan kehangatan yang akan tangannya rasakan ketika menyentuh Aria, namun ia tak bisa karena wujud Aria yang tak bisa tersentuh. Dan kini, di hadapannya Aria berdiri dengan wujud nyata yang bisa ia sentuh. Senang, tentu saja. Apalagi jika Aria mengingat kenangan mereka yang dulu.
"Aria, seandainya kamu..."
"Aku ingat, Sean." Aria tiba-tiba memotong ucapannya. Tangannya pun sudah balas menyentuh punggung tangan Sean yang ada di wajahnya. Sorot matanya tetap fokus pada Sean.
Dan seperti ada gelembung sabun di dalam perut Sean, satu per satu meletus dan menghasilkan rasa hangat yang menyenangkan, Sean juga rasanya ingin meletus dalam bahagia yang berhasil Aria berikan.
Aria bilang ia sudah ingat. Jadi, artinya mereka bisa seperti dulu. Aria bisa menemaninya lagi. Mendampingi dirinya dalam keadaan apapun.
"Benarkah?" Sean bertanya demi meyakinkan dirinya bahwa Aria tidaklah sedang berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTART
Storie d'amore"Sleeping Beauty seri 2" Label menjadi pengangguran abadi akhirnya tidak lagi disandang oleh Aria setelah ia lolos dan bekerja di perusahaan besar. Tapi, kalau bosnya seperti Sean yang seenaknya sendiri, tukang buli, dan pemaksa sepertinya Aria haru...